“Kok bisa marah cuma gara-gara mimpi, sih?“
“Cuma, Liv? Cuma kamu bilang?“
Dito mendengkus kesal setelah mendengar ucapan Olivia. Pemuda itu sangat tak terima ketika Olivia menganggap remeh alasannya marah pagi tadi.
“Iya, Dito. Itu cuma mimpi, nggak bener-bener kejadian,” ungkap Olivia tak habis pikir. Dia tahu bahwa Dito lebih muda darinya, namun dia tak menyangka bahwa Dito sungguh kekanakan seperti ini.
“Liv … di film, mimpi itu adalah kejadian nyata di alam semesta lain. Berarti, di semesta lain emang kamu selingkuh dari aku,” jelas Dito mengingat film yang dia lihat beberapa hari yang lalu.
Mendengar penuturan Dito, Olivia memutar bola matanya kesal. Bisa-bisanya kekasihnya itu menyangkut pautkan kehidupan nyata mereka dengan teori tak masuk akal di film?
“Kamu nggak masuk akal, tahu nggak? Mana ada alam semesta lain! Kamu dibohongin sama film,” sangkal Olivia.
Dito tak ingin tahu, dia tetap pada pendiriannya untuk marah kepada Olivia.
“Pokoknya kamu jahat. Aku ganteng loh, Liv. Bisa-bisanya kamu selingkuh sama om-om kayak gitu!“
“Dito! Itu cuma mimpi!“ tekan Olivia masih mencoba bersabar.
“Apa jaminannya kalau di alam semesta lain kamu nggak selingkuh?“ tanyanya yang sekali lagi membuat Olivia frustrasi.
“Kamu percaya ada alam semesta lain?“ tanya balik Olivia. Dito pun langsung mengangguk pasti.
“Percaya,” katanya mantap.
“Apa buktinya? Kalau kamu ngasih bukti, aku bakal ngasih kamu jaminannya,” tantang Olivia tersenyum menyeringai.
“Mana bisa aku buktiin? Para ilmuan aja nggak ada yang bisa buktiin,” jawab Dito kesal sendiri.
“Nah, dari pada kamu marah-marah sendiri sama hal yang belum pasti, mending kita baikan,” ajak Olivia mengulurkan tangannya.
“Nggak,” tolak Dito ketus. Pemuda itu membuang wajahnya dari Olivia, masih dalam mode marah.
“Ya udah kalau nggak mau.“ Olivia tak ingin memperpanjang masalah mereka. Perempuan itu kembali mendekatkan laptopnya dan melanjutkan aktivitasnya tadi yang sempat tertunda. Yaitu merekap nilai para anak didiknya.
Dito memperhatikan Olivia yang kini malah kembali fokus. Perempuan itu tak lagi memperhatikannya seperti tadi. Olivia mencuekinya, dan Dito kesal karena itu.
“Kamu nggak balik kelas? Ini masih jam pelajaran, loh. Saya bisa laporin ke wali kelas kamu, Dito.“
“Kan kamu yang nyuruh ke sini tadi,” balas Dito tak acuh.
“Saya guru kamu, yang sopan!“ peringat Olivia yang lagi-lagi membuat Dito mendengkus kesal.
“Sumpah, Oliv kamu bikin aku pusing!“
“Makanya jangan sok-sokan ngambek, Dito! Udah, baikan aja kita!“
Kali ini Dito tak menolak. Tangannya pun menyambut tangan Olivia yang terulur padanya. Mereka bersalaman, yang membuat Olivia langsung menerbitkan senyumnya.
“Nah, gitu, dong! Kan enak,” ucap Olivia puas.
“Janji nggak bakal selingkuh sama om-om itu, ya?“ tuntut Dito.
Olivia mengangguk mantap setelahnya. “Janji.“
***
“Raihan ke mana, Nu?“
Dito yang baru saja membereskan alat tulisnya bertanya kepada Ibnu yang duduk di di bangku depannya. Satu jam terakhir tadi Raihan izin ke kamar mandi dan tak kunjung kembali dia tentu saja bingung ke mana perginya sahabatnya itu.
“Nggak tahu, Dit. Bolos di atap mungkin,” sahut Ibnu menutup resleting tasnya.
“Mau nyusulin nggak? Gue males pulang, nih,” kata Dito.
“Yuk!“ Ibnu berdiri yang langsung diikuti oleh Dito. Mereka berdua berjalan bersama menuju rooftop, tempat biasa mereka menghabiskan waktu ketika jam pelajaran.
Keluar dari kelas, Dito melihat Eca yang berjalan dari kejauhan. Cara berjalan gadis itu uang terlihat pincang membahas Dito menghentikan langkahnya untuk memperhatikannya dengan saksama. Dia sendiri bingung dengan adik sepupunya itu.
“Eca kenapa, ya? Lo tahu?“ Dito melirik Ibnu, ingin tahu apakah sahabatnya itu mengetahui tentang penyebab Eca berjalan pincang.
Namun, Ibnu tak menjawab. Dia hanya terus menatap Eca yang kini malah menyunggingkan senyum lebar ke arahnya. Gadis itu bahkan berlagak seolah tak terjadi apa-apa pagi tadi.
“Hai, Kak Ibnu!“ sapa Eca setelah sampai di hadapan keduanya. Melihat Eca hanya menyapa Ibnu, Dito berdecih. Berbeda dengan Ibnu yang malah berjalan untuk menghindari Eca.
“Ih, Kak Ibnu mau ke mana?“ cegah Eca menyekal tangan Ibnu.
Ibnu tak berkata apa-apa, dia hanya terdiam seraya menatap dingin tangan Eca yang menyekal tangannya. Memberi kode kepada gadis itu untuk melepaskannya. Namun, Eca sama sekali tak peka.
“Durhaka banget, ya! Nggak nyapa gue!“ tegur Dito yang Eca balas dengan cengiran tak berdosanya.
“Bisa lepas nggak?“ Akhirnya Ibnu bersuara, seperti biasa dengan nada dingin dan datar.
“Kak Ibnu mau ke mana, sih?“ desak Eca lagi. Dengan tak tahu malunya kini dia malah bersandar pada tubuh Ibnu.
“Gue bilang lepas, Rebecca!“ ulang Ibnu mencoba menahan emosinya.
Dito yang paham akan situasinya pun menarik tangan Eca, membuat gadis itu kini berduri di dekatnya. Sebelum Eca sempat protes, Dito segera memelototinya untuk mencegah gadis itu bersuara.
“Kaki lo kenapa?“ tanya Dito mengalihkan topik pembicaraan.
“Ini? Enggak, kok, tadi pagi jatuh,” balas Eca menatap kedua kakinya yang kini beralaskan sendal.
“Kok bisa sampai jatuh?“ tuntut Dito lagi. Merasa tak yakin dengan jawaban Eca.
“Bisa, Kak. Tadi pagi aku lari-larian di kantin, nggak sengaja jatuhnya,” katanya lagi yang membuat Ibnu menatapnya tak percaya. Dia pikir Eca akan mengatakan hal yang sebenarnya kepada Dito. Dia tak menduga bahwa gadis itu melindunginya.
“Pecicilan banget jadi orang,” omel Dito yang hanya gadis itu balas dengan juluran lidah.
“Udah, pulang sono!“ titah Dito.
“Kak Dito mau ke mana? Aku ikut!“ pinta Eca memohon.
“Nggak mau. Ngerepotin banget jadi orang!“ tolak Dito mentah-mentah.
“Jahat!“
“Emang!“
Eca memukul bahu Dito, membuat pemuda itu meringis tertahan. Dito sangat ingin memukul Eca jika saja tak mengingat bahwa gadis itu adalah adiknya.
“Aku sumpahin Kak Dito hidupnya sial terus!“ kata Eca asal-asalan.
Dito melotot. “Hati-hati kalau ngomong! Bisa jadi kejadian, bodoh!“ tegur Dito.
“Udah. Lo pulang sama gue. Dit, susulin Raihan! Habis ini kita ke rumah Raihan!“ titah Ibnu menarik tas Eca menjauh dari Dito.
“Oke, Nu!“ Setelah mengatakan hal itu, Dito langsung saja berjalan menuju anak tangga. Pemuda itu sedikit berlari. Ketika membuka pintu yang menghubungkan tangga dengan rooftop, Dito melihat tiga orang gadis yang tengah merundung gadis lain.
Melihat ketidakadilan di depan mata, Dito tak bisa tinggal diam. Pemuda itu langsung berjalan mendekat untuk menyelamatkan gadis menyedihkan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berondong Lovers
Dragoste𝐜𝐨𝐦𝐩𝐥𝐞𝐭𝐞 𝐬𝐭𝐨𝐫𝐲 ✓ karena mencintaimu dengan cara biasa adalah ketidakmungkinan bagiku, maka biarkan aku mencintaimu dengan cara ngegas dan ngeyel. dito aulian adam-berondong lovers, 2022 - Sempurna. Itulah kata yang menggambarkan kehidup...