29. Kencan

524 27 0
                                        

Dengan menunduk, Dito menutup mulutnya rapat-rapat selepas menyadari ucapannya sangat blak-blakan dan terkesan lancang. Seharusnya dia tak perlu berkata seperti itu karena dia tak memiliki hak. Memangnya dia siapanya Olivia? Pacar juga bukan. Bahkan, ketika dia menyatakan perasaannya, Olivia hanya menganggapnya sebagai lelucon.

"Saya cuma temenan sama Irgi."

Dito pikir, Olivia akan marah ketika dia mengatakan cemburu, atau paling tidak perempuan itu akan kembali menganggap ucapan Dito hanyalah sebuah candaan. Namun, di luar dugaannya, Olivia malah berkata seperti itu. Yang seakan-akan meminta Dito agar tak cemburu.

"Bu Oliv nggak suka sama cowok itu?" tanya Dito untuk memastikan sekali lagi.

Olivia menggeleng yakin, membuat Dito mengulas senyum.

"Terus, Bu Oliv sukanya sama siapa?"

Terus terang saja Olivia tak bisa menjawab pertanyaan Dito. Dia saja tak tahu apa yang hatinya rasakan. Dan keterdiamannya membuat Dito kembali bertanya.

"Bu Oliv suka sama saya, ya?" tanyanya penuh percaya diri.

"Dito, sa—"

"Sayang, ajakin Dito sarapan, yuk! Mama sama Mbok Warni udah masak!"

Tiba-tiba Divia datang, memotong ucapan Olivia yang ingin membalas ucapan Dito. Dalam hati, Olivia berterima kasih kepada Mamanya yang berhasil menyelamatkannya dari situasi tak nyaman itu.

"Oh, iya. Ayo, Dit! Kita sarapan sama-sama!" ajak Olivia lalu bangkit dan berjalan menyusul Divia yang sudah mendahuluinya ke ruang makan.

Walaupun dengan sedikit terpaksa, akhirnya Dito bangkit. Sebagai bentuk rasa hormat dan menghargai Divia, Dito memutuskan untuk turut ikut sarapan bersama mereka.

"Duduk sini!" interupsi Olivia menarik kursi kosong di sebelah kursinya.

Divia tersenyum, lalu mulai mengambilkan makanan ke dalam piring Dito dan Olivia.

"Mbok Warni ke mana, Ma? Nggak ikut sarapan sekalian?" tanya Olivia mengedarkan pandangannya untuk menemukan keberadaan Mbok Warni.

"Balik ngurusin tanaman, udah Mama ajak sarapan tapi nggak mau," jelas Divia yang mendapat anggukan dari Olivia. Wanita itu duduk di kursi yang berseberangan dengan Dito dan Olivia, memulai sarapannya.

"Nak Dito kelas berapa?"

Kini Divia beralih menatap Dito, memperhatikan pemuda tampan itu yang tampak canggung.

"Saya kelas sebelas, Tante," papar Dito berterus terang.

"Oliv kalau ngajar gimana? Galak, ya?" tanyanya bermaksud menggoda Olivia. Dan berhasil, putrinya itu melempar tatapan kesalnya ke arah Divia.

"Nggak, kok, Tante. Bu Oliv seru kalau ngajar. Di SMA, Bu Oliv udah jadi guru favorit," ungkap Dito mulai bisa menikmati suasana. Dinding kecanggungan di antara mereka sudah mulai mencair.

"Oliv itu anaknya manja. Kalau permintaannya nggak diturutin, suka ngamuk-ngamuk," kata Divia lagi.

Dito tersenyum, melirik wajah memerah Olivia yang menggerutu tak jelas kepada Divia.

"Mama bohong, aku nggak manja orangnya, Ma!" sangkal Olivia menahan malu. Selama ini, di hadapan muridnya dia selalu terlihat mandiri dan bersikap dewasa. Tak seharusnya Mamanya membongkar aibnya sendiri di hadapan Dito.

"Ya kalau temen-temen saya susah diatur waktu di kelas, nggak jarang Bu Oliv juga marah-marah, Tante," adu Dito yang juga berniat menggoda Olivia. Wajah kesal Olivia membuat perempuan itu semakin cantik, Dito ingin memandangnya lebih lama.

"Nah, kan ... bener. Oliv tuh aslinya nggak sabaran orangnya," timpal Divia.

"Nggak, ya! Yang suka susah diatur waktu di kelas itu kamu aja, temen-temen kamu mah anteng!" sanggah Olivia benar adanya. Setiap kali Olivia mengajar di kelas Dito, pemuda itu akan melakukan hal-hal di luar nalar untuk menarik perhatian Olivia.

"Bu Oliv jangan suka fitnah saya kayak gitu! Dosanya gede, Bu Oliv!"

"Iya, Sayang! Jangan suka fitnah," sahut Divia menyetujui ucapan Dito.

Baik Dito maupun Divia mendapatkan tatapan tak bersahabat dari Olivia. Perempuan itu dapat mencium aroma persekutuan di antara mereka. Keduanya pasti berniat membuatnya kesal saja.

"Mama kapan pulangnya?" Olivia bertanya dengan ketus, hal yang malah membuat Divia tertawa.

"Kamu ngusir Mama, ya?"

"Iya, kenapa? Mama sih ngeselin!" ungkapnya menggembungkan pipinya.

Sejenak, Dito tak percaya dengan sikap kekanakan yang Olivia tunjukkan. Perempuan yang selalu bersikap dewasa saat bersamanya itu ternyata juga bisa merajuk.

"Nanti agak siangan Mama pulang, mau nganter makan siang buat Papa," jelas Divia kemudian meneguk air di dalam gelas, sebagai tanda bahwa dia sudah menyelesaikan sarapannya.

"Kenapa nggak sekarang aja? Oliv mau pergi," kata Olivia dengan tangan yang melepas bungkusan handuk di kepalanya.

"Ke mana, Liv? Sama Dito, ya?"

Divia menatap Olivia yang tengah menggosok rambutnya dengan handuk, lalu beralih menatap Dito untuk mendapat jawaban dari keduanya.

"Mau ke mana, Bu Oliv?" Dito ikut-ikutan bertanya, karena Olivia tak berkata apa-apa sebelumnya. Dia tak tahu Olivia ingin pergi ke mana.

"Mau kencan, wle!" sahut Olivia dengan lidah yang dia julurkan ke arah Dito, bermaksud menggoda pemuda itu.

"Katanya semalam habis kencan, ini mau pergi lagi?"

Olivia menoleh ke arah Divia cepat, tak setuju dengan perkataan Divia yang sembarangan.

"Mama! Aku nggak bilang semalam habis kencan, ya!" rengeknya.

"Ya udah, ya udah! Mama mau beresin piring ini dulu." Bangkit dari duduknya, Divia menyusun piring-piring kotor di atas meja, lalu mengangkutnya ke wastafel untuk dia cuci.

"Biar Dito bantuin, Tante," ungkap Dito turuti berdiri dan membantu pekerjaan Divia.

"Nggak usah, Nak Dito! Biar Tante sendiri," tolak Divia yang tak berpengaruh sedikit pun kepada Dito.

"Udah terlanjur! Kita selesaiin."

Divia tersenyum simpul melihat sikap Dito itu, mereka berdua akhirnya mencuci piring bekas mereka makan dan beberapa wadah yang Divia gunakan untuk memasak tadi.

Sementara itu, Olivia hanya menahan senyum lalu berbalik badan menuju ke kamar untuk mengeringkan rambutnya. "Aku ke kamar dulu, mau ganti baju. Mau kencan!" teriaknya berpamitan.

Tentu saja Olivia berbohong. Kencan yang dia bicarakan sejak tadi adalah kebohongan. Dia hanya ingin menghentikan Mamanya yang terus saja menggodanya. Rencananya, hari ini dia ingin tidur di rumah seharian. Setelah Dito pergi tentu saja.

"Tante, saya langsung pulang, ya. Mau nengokin Ayah temen saya di rumah sakit," pamit Dito setelah mereka selesai. Keduanya kini berjalan ke arah ruang tamu.

"Ayah temen kamu sakit apa?" tanya Divia ingin tahu.

"Habis operasi jantung, Tante. Ini tinggal pemulihan aja, kok," jelas Dito yang diangguki oleh Divia.

"Ya sudah, semoga Ayah temen kamu cepet pulih, ya. Kalau kamu mau pergi sekarang, saya panggilin Oliv dulu."

Dito mengangguk, mempersilakan Divia untuk pergi memanggil Olivia. Namun, belum sempat Divia menjangkau tangga, sebuah suara mengalihkan perhatian mereka berdua.

"Selamat pagi."

Melihat seseorang yang berdiri di ambang pintu, Dito mengumpat di dalam hatinya. Berbeda dengan Divia yang memandang bingung ke arah lelaki itu.

"Pagi ... eh, Irgi, ya?" tebak Divia tersenyum ramah. Senyum yang sama yang dia tunjukkan untuk menyambut Dito tadi.

"Iya, Tante. Olivnya ada?" Irgi bertanya terus terang, tanpa memedulikan Dito yang dia tahu adalah kekasih Olivia.

"Ada, lagi di atas. Ngomong-ngomong, ada apa pagi-pagi ke sini?"

"Saya mau ngajak Oliv keluar, Tante."

Berondong Lovers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang