24. Anjani

196 15 0
                                    

Setelah bersusah payah meyakinkan Pak Haris, akhirnya Olivia berhasil membuat Dito tak jadi dikeluarkan. Olivia menjadikan karirnya sebagai jaminan untuk Dito. Jika saja Dito berbuat hal seperti itu lagi, Olivia siap untuk diberhentikan dari SMA Virgo. Namun, sanksi untuk Dito harus tetap ada. Dan sebagai sanksi atas tindakannya, sekolah memberhentikan Dito sementara sekolah. Atau dalam kata lain, Dito terkena skors, selama dua minggu. Dan selama itu, Dito harus menyelesaikan tugas-tugas selama satu semester penuh.

Dan Olivia harus membimbing Dito, jika tidak karirnya di SMA Virgo akan berakhir. Olivia tak tahu kenapa dia bisa bertindak sejauh ini untuk membela Dito. Yang dia yakini, Dito tak pantas dikeluarkan. Masih banyak hukuman lain untuk menebus kesalahan Dito.

Dan kini, Olivia berada di dalam lift untuk menuju apartemen Dito. Melangkahkan kakinya ke luar dari lift, Olivia dapat melihat Raihan dan Ibnu yang berdiri di depan apartemen Dito.

"Kalian kok di luar?" tanya Olivia menatap keduanya yang hanya berdiri bersandar pada dinding.

"Kita nggak bisa masuk, Buk. Dito ganti password," ungkap Ibnu jujur. Padahal, dia sudah bersusah payah membujuk Raihan untuk ke sini meminta maaf kepada Dito.

"Tapi dia di dalem, kan?" tanya Olivia memastikan.

"Iya." Ibnu mengangguk.

"Udah, ayo pulang aja! Nggak guna banget kita di sini," ajak Raihan yang terpaksa mengikuti Ibnu.

"Han, lo juga salah tadi. Harus minta maaf!" kata Ibnu. Dia tahu niat Raihan baik untuk melerai Dito, namun caranya salah walaupun itu berhasil.

"Biar saya telfon." Olivia mengeluarkan ponselnya, lalu mencari kontak Dito dan menelfonnya.

"Dito, saya di luar," kata Olivia tanpa basa-basi. Namun, Dito langsung memutus sambungan telefon merek, membuat Olivia menatap ponselnya bingung.

"Dimatiin," lapor Olivia pada Raihan dan Ibnu. Tak lama kemudian, pintu di hadapan mereka terbuka, menampilkan Dito yang masih menggunkan seragam dengan penampilan acak-acakan.

"Bu Oliv, masuk!" titah Dito mempersilakan Olivia. Hanya menatap perempuan itu, tak memedulikan kedua temannya.

Sesuai perintah Dito, Olivia memasuki apartemen pemuda itu, meninggalkan Raihan dan Ibnu di luar.

"Dit—"

"Gue nggak mau diganggu," potongnya cepat. Ibnu yang melihat wajah serius Dito terdiam, tak ingin berbicara lebih.

"Dito ...." Olivia mencoba membujuk pemuda itu, namun Dito benar-benar keras kepala. Dia bahkan membuang muka dari Olivia yang mencoba menatapnya.

"Ya udah, kita pergi dulu," pamit Ibnu akhirnya. Tangannya menarik tangan Raihan untuk meninggalkan tempat itu. Setelahnya, Dito menutup pintu, berjalan menuju sofa dan duduk di sana tanpa suara.

Olivia pun mengikuti Dito, perempuan itu duduk di sebelah anak didiknya.

"Kamu nggak apa-apa?" Olivia bertanya ketika Dito hanya diam dengan pandangan tak terarah. Mendapat pertanyaan dari Olivia, Dito mengangguk.

"Saya nggak apa-apa, Buk," ungkapnya tersenyum.

"Saya udah berhasil bujuk Pak Haris, kamu nggak jadi di-DO," papar Olivia kemudian.

"Tante Nadia udah bilang. Seharusnya Bu Oliv nggak perlu sampai kayak gitu."

"Nggak apa-apa, Dito. Saya nggak mau kamu dikeluarkan cuma karena masalah kayak gini."

"Makasih, Bu Oliv." Dito kembali mengembangkan senyumnya.

"Sama-sama. Kamu pengin cerita sesuatu ke saya?" Olivia bertanya untuk memancing Dito. Dia ingin tahu sebenarnya apa yang terjadi dengan keluarganya. Dari interaksi antara Dito dan Nadia tadi, Olivia dapat melihat bahwa hubungan mereka tak baik.

"Bu Oliv inget waktu saya bilang mau nunjukkin sesuatu?" tanyanya balik.

Olivia mengangguk.

"Saya mandi dulu, Bu Oliv tunggu sini, ya!" Dito bangkit dari duduknya setelah mendapat persetujuan dari Olivia. Dia berjalan masuk ke kamarnya, sementara Olivia sibuk sendiri dengan pikirannya mengenai Dito.

***

Dito menghentikan motornya di pekarangan sebuah rumah sakit jiwa. Olivia tentu saja bingung kenapa Dito membawanya ke tempat ini. Namun, perempuan itu hanya diam menahan segala pertanyaan, menunggu Dito untuk menjelaskan.

"Ayo, Bu Oliv!" ajak Dito mendahului langkahnya. Mereka berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit, di mana ada beberapa orang kurang waras yang berkeliaran. Dito menggenggam tangan Olivia yang terlihat tak nyaman dengan situasi itu. Sampai mereka memasuki sebuah ruangan, Dito melepas genggaman tangannya.

Ruangan itu tak terlalu besar. Ada satu ranjang dan meja kecil di sebelahnya. Juga sofa yang memuat dua sampai tiga orang. Di pojok ruangan ada kamar mandi. Ada juga beberapa buku-buku.

"Mama saya, Buk," ungkap Dito yang masih berdiri di depan pintu dengan Olivia di sebelahnya.

Olivia memandangi seorang wanita paruh baya yang terduduk di atas ranjang, melipat kakinya dengan pandangan kosong. Bahkan, Anjani tak bereaksi apapun sebagai respon kedatangan Dito dan Olivia.

"Duduk sini!" Dito kembali menarik tangan Olivia, duduk di sofa yang berhadapan langsung dengan Anjani.

"Udah empat tahun, Buk. Sejak kembaran Alana meninggal, Mama depresi," jelas Dito tanpa diminta. Olivia menoleh ke arah Dito cepat, menatap lekat pemuda itu yang sedang memandangi Anjani dengan wajah sendu.

"Saya turut berduka cita, Dito," ungkap Olivia penuh empati. Dia tak menyangka jika Dito mengalami masalah hidup seberat ini.

"Dua tahun setelah Alena meninggal, Papa nikah lagi sama Tante Nadia. Padahal Mama lagi butuh Papa, Buk. Seharusnya Papa nggak nikah lagi," adu Dito lagi. Matanya kini tampak berkaca-kaca. Olivia tak bisa melakukan apapun selain mengusap bahu Dito untuk menenangkan pemuda itu.

"Papa kamu pasti punya alasan, Dito." Sebenarnya ada banyak kalimat penenang yang ingin Olivia ucapkan, namun hanya itu yang dapat keluar. Dia terlalu syok dengan hal yang baru saja Dito ceritakan padanya.

"Saya nggak mau nerima alasan apapun, Bu Oliv. Mama saya di sini kayak gini, semen—"

"Udah, nggak usah dilanjutin! Saya ngerti." Olivia menggenggam tangan Dito erat, mengehentikan ucapan Dito yang malah akan memperdalam luka hatinya. Pemuda itu menunduk dalam, menyembunyikan tangisnya dari Olivia.

"Saya cuma pengin Papa nggak egois, Buk."

"Dito, sa—"

"Bu Oliv nggak perlu bilang apa-apa, saya cuma butuh pendengar aja," potong Dito menatap dalam Olivia. Matanya yang memerah membuat Olivia tak bisa berkata-kata. Hari ini, Olivia dapat melihat sisi lain dari diri Dito. Pemuda itu tampak rapuh, dan Olivia merasa tak nyaman dengan itu.

"Lanjutin! Saya dengerin," pungkas Olivia mengangguk. Dito pun kembali mengeluhkan apa yang telah dia alami sejauh ini. Bagaimana tersiksanya dia dengan segala tekanan batin yang dia rasakan. Tentang rasa rindunya pada sang Mama. Tentang harapan untuk melihat Anjani kembali sembuh seperti sedia kala.

Tak ada rasa malu lagi bagi Dito untuk mengeluarkan tangisnya di hadapan Olivia. Dito tak bisa selamanya bersikap seolah-olah dia adalah orang kuat. Dito tak bisa lagi berpura-pura.

Dan Olivia adalah orang pertama yang melihat Dito serapuh ini, selain Raihan dan Ibnu 

Dan Olivia adalah orang pertama yang melihat Dito serapuh ini, selain Raihan dan Ibnu 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Berondong Lovers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang