86

8 0 0
                                    


Senin mendung lagi, sepertinya akan sering turun hujan akhir-akhir ini. Langit di atas sana sudah sangat hitam, pertanda akan turun hujan deras. Untung saja aku dan Kak Ian sudah sampai di parkiran sekolah. Aku membuka helm dan merapikan rambut sejenak. Kak Ian mengambil helm dari sebelah tanganku dan menyimpannya di atas motor.

"Sori ya Sayang, lain kali aku bawa mobil aja kalo musim hujan begini," ujar Kak Ian.

"Gak papa, Kak. Lagian kan belum hujan juga," jawabku menggeleng sambil menunjuk arah langit.

"Iya, hari ini kita beruntung gak kehujanan, tapi besok-besok belum tentu, Sayang. Apalagi kamu harus belajar lebih ekstra buat olimpiade di provinsi nanti. Jadi gak boleh sampe sakit."

Benar juga. Olimpiade nanti butuh lebih banyak pikiran dan waktu untuk belajar. Contoh soal kemarin sudah lumayan bikin pusing dan terbukti aku masih banyak salah. Kalau sampai aku sakit, duh... amit-amit, semoga nggak deh. Lagipula bukan hanya aku, tapi Kak Ian juga jangan sampai sakit. Dia kan harus ikut turnamen basket nanti. Waktunya saja sudah kurang dari seminggu.

"Tapi kan itu mobil punya papa Kak Ian. Gak papa dipake ke sekolah?" tanyaku teringat mobil yang pernah dipakai Kak Ian saat pertama kali mengantarku dan Iran pulang.

Kak Ian menggeleng. "Gak papa, aku bisa minjam lagi kok, lagian khusus selama musim hujan aja. Papa kan ada satu mobil lagi di rumah."

Aku manggut-manggut. Terserah Kak Ian dan papanya saja. Aku kan hanya nebeng.

Kami berhenti mengobrol begitu hujan mulai menetes satu persatu dari langit. Kak Ian mengajakku segera berjalan menuju koridor sekolah. Untung saja hujan turun persis saat waktu upacara akan dimulai. Yes! Hari ini lumayanlah tidak ikut upacara bendera. Kak Ian mengantarku tepat sampai di depan pintu kelas, lalu ia sendiri pamit ke kelasnya.

"Kak, tunggu..." panggilku, tiba-tiba teringat sesuatu. Kak Ian menghentikan langkah dan menoleh ke arahku.

"Kenapa, Sayang?"

"Kalo hujannya kayak gini, gimana caranya Kak Ian latihan basket nanti?" tanyaku bingung.

"Nanti dialihkan sementara di lapangan indoor. Tenang aja, Sayang." Kak Ian tersenyum, lalu kembali pamit menuju ke kelasnya. 

Aku sendiri segera masuk ke dalam kelas. Masih sedikit teman-teman kelas yang baru datang. Sepertinya yang  lain masih terjebak hujan di jalan. Duh, kalau begini suasana jadi sepi. Iran, Lita, dan Icha pada belum datang. Dedy juga belum kelihatan batang hidungnya. Daripada bete lebih baik aku menunggu di depan kelas saja sambil mendengarkan lagu. Lumayan, nongkrong bentar di koridor sambil menikmati hujan. Aduh syahdunya.

I remember...
The way you glanced at me, yes I remember
I remember...
When we caught a shooting star, yes I remember
I remember...
All the things that we shared, and the promise we made, just you and I
I remember...
All the laughter we shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn


Tau-tau dari arah jauh aku melihat sosok seseorang yang makin lama makin terlihat jelas setelah setengah berlari karena berusaha menerobos hujan. Kak Andra. Ia berjalan memasuki koridor seraya mengibaskan rambut jabriknya yang basah terkena hujan. Dan aku menatapnya hampir tanpa berkedip. Baru kali ini aku melihat rambutnya basah, dan well, itu keren. Ups, dua kali lebih keren malah.

Astaga, Riva, kenapa jadi jelalatan gini?

Aku buru-buru mengalihkan pandangan begitu menyadari bahwa Kak Andra juga sepertinya menyadari aku menatapnya. Untung saja ia tidak lewat persis di depan kelasku, tetapi di koridor seberang kelasku. Fiuh.... aku jadi sedikit lebih bisa bernafas lega. Aku berusaha untuk tidak mengikuti langkah Kak Andra dengan tatapan mataku. Plis, Va, setialah dengan Kak Ian. Lupain Kak Andra! Arrggghhhhh.

Cinta Datang TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang