68

432 17 2
                                    

“Rivaaaa.....”

Pagi-pagi Mama sudah mengetuk-ngetuk pintu kamarku dengan tidak sabar.

“Jadi ikut olimpiade nggak? Udah ditungguin cowok ganteng nih!”

Mati gue! Olimpiade?

Aku buru-buru bangkit dari tempat tidur dan mengambil jam weker. Jam setengah 7, dan aku baru sadar dari mimpi panjang yang sudah tidak bisa kuingat apa saja isi mimpiku. Kebablasan. Bisa-bisanya aku bangun telat di saat penting begini.

Aku cepat-cepat menyahuti mama sebagai tanda kalau aku sudah bangun, kemudian aku menyambar handuk dan lari ke kamar mandi. Secepat kilat aku mandi dan berpakaian, lantas turun menemui Mama, Papa, dan tentunya cowok ganteng kesayangan Mama yang juga sudah ada di sana.

“Nih sarapan dulu, Va,” Mama ternyata sudah menyiapkan sarapanku saat aku mandi tadi.

“Makasih, Ma,” jawabku menyambut piringku dan sarapan secepat yang aku bisa.

“Kak Ian gak sarapan?” tanyaku di sela-sela mengunyah.

Kak Ian mengangguk sejenak sambil tersenyum melihat tingkahku, “Udah barusan, Va. Yaudah abisin aja dulu sarapannya. Nanti kita jemput Iran.”

Aku mengangguk mengiyakan, tapi kemudian mengingat pesan Iran semalam.

“Eh iya.. Iran katanya gak usah dijemput, Kak.”

“Kenapa?”

Aku melirik mama dan papa sebelum lanjut berkata, “Katanya bareng Kak Imran.”

Kak Ian terbelalak sejenak mendengar jawabanku. Seperti ingin menyengir tersenyum tapi ditahannya.

Mama lantas bertanya, “Siapa tuh Imran? Temennya cowok ganteng?”

“Senior, Tan, tapi ikut olimpiade juga,” jawab Kak Ian.

“Oh..” Mama manggut-manggut.

“Si Aris apa gak ikut olimpiade, Va?” tanya Papa nimbrung. Pertanyaan Papa barusan malah disambut lirikan bete oleh Mama.

“Papa nih, kok malah bahas yang lain sih?” Mama berseru, lantas cepat-cepat melirik Kak Ian, seolah memastikan Kak Ian jangan sampai salah paham. Keliatan banget kalo Mama gak suka dengan Kak Aris.

“Gak Pa, dia cuman ngajarin bimbel aja,” jawabku.

“Oh gitu...” Papa manggut-manggut santai.

“Udah.. udah.. Va, cepet abisin sarapannya. Jangan sampe kalian telat loh. Kasian cowok ganteng udah bela-belain cepet-cepet jemput malah kamunya telat,” Mama segera mengalihkan pembicaraan. Ya ampun.

“Iya Ma.”

Aku tidak banyak bicara lagi, kembali melanjutkan balap sarapanku. Untung mulutku bisa diajak kompromi untuk mengunyah cepat. Sekali dua kali kunyah langsung telan.

“Yuk Kak,” ajakku seraya berdiri dan menyandang ranselku.

“Udah?” tanya Kak Ian memastikan. Aku mengangguk.

“Ma, Pa, pergi dulu ya. Doain kami semoga bisa lolos,” aku meraih tangan Mama dan Papa untuk bersalaman sekaligus meminta doa restu.

“Aamiin. Anak Mama dan Cowok Ganteng pasti bisa!” Mama tersenyum lebar menyemangati.

“Jangan lupa doa ya, Va, Ian. Apapun hasilnya, kalian udah berusaha selama ini!” Papa menambahkan sambil menepuk bahu kami bergantian.

“Makasih Tante, Om,” jawab Kak Ian tersenyum. “Yuk Va!”

“Iya Kak.”

Aku dan Kak Ian segera naik ke mobil dan menuju ke lokasi. Kak Ian memutar musik The Overtunes agar pikiran sedikit rileks.

“Gimana, Va? Segugup kayak pertama kali olimpiade gak? Atau lebih gugup lagi?” tanya Kak Ian melirikku sejenak kemudian kembali fokus pada jalanan.

“Hehehe, gak terlalu sih, Kak. Malah jadinya telat bangun. Sori banget ya Kak,” ujarku meminta maaf. Tadi kelupaan.

“Gak papa, santai aja. Kan olimpiadenya juga belum dimulai,” Kak Ian melirik sekilas jam tangannya, “Masih ada waktu kok.”

“Maaf juga ya Kak, lupa ngabarin kalo Iran bilangnya gak usah dijemput. Tau gitu Kak Ian bawa motor aja, jadi kita bisa lebih cepat.”

Kak Ian mengangguk. “Gak papa, Va. Tapi aku jadi heran, tumben Iran berangkat bareng Imran.”

“Gak tau tuh, kok bisa-bisanya. Nanti deh aku interogasi.”

Aku menyengir lebar, tapi sekaligus takjub juga pada Iran. Masih setia pedekate kepada Kak Imran, malah berangkat bareng menuju lokasi olimpiade.

“Eh, Kak Ian tau kan tempatnya?” tanyaku tiba-tiba ingat lokasi olimpiade kan bukan di sekolah, dan khusus untuk mengikuti olimpiade maka kami hari ini diizinkan untuk tidak mengikuti pelajaran selama sehari.

“Tau kok, tenang aja. Kan tahun lalu aku juga ikut. Lokasinya sama kok.”

“Oh iyaaa...” aku menyengir saja. Riva.. Riva.. kok jadi pelupa gini sih?

Sebuah sms tiba-tiba masuk ke ponselku. Segera kubaca.

Semangat ya Ri, semoga sukses olimpiadenya. 🙂

Hmm.. dari Kak Aris. Aku jadi bimbang, antara membalasnya atau tidak.

“Dari siapa, Va?” tanya Kak Ian. Sepertinya ia heran melihatku memandangi layar ponsel cukup lama. Aku menoleh dan menggeleng pelan.

“Dari teman, Kak. Nyemangatin aja buat olimpiade.”

Kak Ian mengangguk. Kutaruh ponsel kembali tanpa membalas pesan Kak Aris.

***

Cinta Datang TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang