75

329 12 0
                                    

Pagi-pagi aku mendapat pesan cinta dari Kak Ian. Duh, kalau ingat obrolan semalam, rasanya aku ingin menyembunyikan wajah saja pagi ini, mungkin sudah merah kayak kepiting rebus. Kuberanikan diri untuk membaca pesan tersebut.

Pagi Sayang, udah bangun belum?

Aku membenamkan wajah pada bantal. Malu banget sumpah. Fiuh, untung saja nggak ada Kak Ian saat ini melihat ekspresiku. Setelah bernorak-norak ria sendirian, aku akhirnya mengangkat wajah dan membaca lagi pesan itu baik-baik dan kali ini dengan tenang. Tarik nafas, Va, ini baru permulaan. Masa iya aku akan seperti ini terus setiap menerima pesan dari Kak Ian. Belum lagi kalau ngomong langsung. Be calm, plisssssss!

Kubalas pesan itu setelah memikirkan jawaban yang tepat.

Pagi juga Kak. Aku baru aja bangun.

Pesan terkirim, dan sudah dibaca. Aku mengembuskan nafas. Kenapa sih aku salting begini? Kayak baru pertama kali pacaran saja. Tapi kan tetap saja beda rasanya. Kemarin-kemarin kami hanya teman, dan sekarang naik setingkat jadi pacaran. Kalau bukan karena saran dari Iran, mmmm... yaaaah mungkin akan tetap kuterima Kak Ian jadi pacarku hahahaha. Gak jelas banget sih hatiku ini. Intinya akan kucoba menjalani hubungan ini walaupun aku merasa rada aneh. Biasa aja Va, biasa aja. Kan dulu pernah pacaran juga, tapi sama...... ah lupakan si mantan.

Bagus deh, kalo udah bangun keluar dong Sayang. Aku ada di depan.

Aku melongo membaca pesan terbaru dari Kak Ian. Dia ada di depan? Di depan rumah, maksudnya? Aku buru-buru bangkit dari tempat tidur dan mencuci wajah, tidak lupa sikat gigi. Aduh parah parah parah. Kenapa sih dia harus datang pagi-pagi begini? Aku mengelap wajahku sejenak dan melirik ke arah cermin. Setidaknya wajahku sudah mendingan dibanding saat baru bangun tadi.

Aku keluar dari kamar dan turun. Mama memanggilku untuk sarapan tetapi aku bergegas keluar lebih dulu menemui Kak Ian. Ia sudah rapi dengan seragamnya. God, pagi ini pacarku ganteng banget. Ups.

“Kak Ian....” sapaku perlahan, bingung harus menampilkan ekspresi apa. Senyum? Salting? Arrrgh... pagi-pagi udah goblok.

“Hai Sa....” begitu Kak Ian ingin memanggilku dengan panggilan Sayang, aku buru-buru menempelkan telunjuk di depan bibirku sambil berlari menghampirinya, menyuruhnya berhenti.

“Sssssttt.... panggil Riva, Kak. Riva..” seruku panik.

Kak Ian mengerutkan dahi sejenak, dan kemudian ia terkekeh pelan. Ia mengangguk.

“Sori, sori, Va,” Kak Ian menggaruk sejenak kepalanya, “Padahal pengen banget manggil kamu secara langsung.”

“Mmm.... tapi gak di depan mama sama papa,” kataku salting. Rileks, Va, rileks dong. Biasa aja napa?

“Oh ya, om sama tante mana?” tanya Kak Ian.

“Ada di dalam,” jawabku menunjuk arah pintu.

Setelah diam beberapa detik, begitu juga Kak Ian, akhirnya ia bertanya memastikan sambil menunjuk rumahku, “Aku boleh masuk kan, Va?”

Aku tersentak, lupa mempersilakannya masuk. Terlebih aku ingat kami harus berangkat ke sekolah pagi ini. Masa iya ngobrol mulu di depan rumah?

“Oh... iya.. boleh... masuk yuk, Kak,” ajakku menyengir lebar.

Kak Ian tersenyum lantas mengikutiku masuk ke rumah. Ia memberi salam begitu melihat mama dan papa.

“Eeeeeh pagi-pagi ada Cowok Ganteng. Ayo masuk.....” Mama menyambut dengan senyum lebar.

Kak Ian balas tersenyum.

“Hei pagi, Ian,” sapa Papa santai. Papa memang sedang ngopi sambil membaca berita di ipad.

Cinta Datang TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang