Akhirnya ujian terakhir selesai juga, dan untung saja soal-soalnya tidak begitu sulit dibandingkan mata ujian pertama tadi. Aku bernafas selega-leganya. Weekend menanti, liburan menanti. Tapi.... yang paling penting adalah pengumuman olimpiade menanti. Aku berpandangan dengan Iran.
“Va, menurut lo, pengumuman udah ada apa belom?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Gak tau. Kita cek lagi aja, yuk!”
Iran mengangguk setuju. Setelah membereskan tas masing-masing, kami keluar dan berjalan menuju mading. Aku berjalan sambil chating dengan Kak Ian. Kuberitahu ia bahwa aku dan Iran akan mengecek mading, siapa tahu pengumuman olimpiade sudah ditempel.
Iran menarik lenganku agar mempercepat langkah sambil menunjuk arah mading. Sudah ada beberapa orang yang berdiri di sana mengamati pengumuman. O em jii.... pengumuman olimpiade sudah ditempel. Jantungku berdegup dua kali lebih kencang. Kupercepat langkahku, begitu juga Iran. Begitu kami sampai di depan kaca mading, segera kutelusuri bidang Komputer dan mencari namaku. Oh My God!
“Rivaaa... lo lolos!” seru Iran yang juga ikut melihat namaku.
Rupanya ia lebih dulu mencari namaku dibanding namanya. Tanpa dikomando, aku dan Iran langsung beralih ke bidang Kimia, mencari nama Iran. Dia juga lolos. Aku dan Iran langsung berpelukan heboh saking senangnya, tidak peduli orang-orang yang menatap kami karena kegirangan. Malah mereka ikut mendekat dan melihat pengumuman olimpiade meskipun tidak ikut olimpiade.
“Eh Va, lo lolos ama Geo ya. Wuih.. jago kalian!” seru Iran lagi dengan senangnya.
Aku tersenyum senang. Rasanya bibirku tidak mau berhenti menyunggingkan senyum. Kemudian aku teringat Kak Ian. Aku segera mencari namanya di bidang Matematika. Ada dua orang di sekolah kami yang lolos Matematika, tapi tak ada nama Kak Ian di sana. Kubaca baik-baik kembali, berharap nama Dianathan Dewa tercantum di situ tapi tetap saja tidak ada. Kukerutkan dahiku. Kenapa nggak ada nama Kak Ian?
Aku baru saja berbalik ingin mencoba menelefon Kak Ian untuk menanyakan dia ada di mana, tapi kemudian aku mendapatinya berdiri di belakangku. Langkahku terhenti. Ia juga sudah membaca pengumuman olimpiade.
“Kak Ian....” ujarku pelan.
Antara tidak enakan tapi juga ikut sedih karena pacarku tidak lolos ke tingkat provinsi. Kak Ian meraih tanganku dan mengajakku menjauh beberapa langkah dari mading. Iran menatap kami tapi tidak berkomentar apa-apa. Aku yakin Iran juga sudah tahu kalau Kak Ian tidak lolos.
“Selamat ya Sayang...” Kak Ian mengelus kepalaku.
Aku diam saja, padahal biasanya aku akan salting diperlakukan seperti itu di depan umum.
“Kok diem?” tegurnya.
“Kak Ian.....” omonganku berhenti.
Duh, nggak enak banget sih rasanya. Tadinya aku dan Iran bersorak heboh bahkan sampai berpelukan, tapi pas melihat Kak Ian nggak lulus....
“Kenapa?” Kak Ian ternyata menunggu ucapanku selanjutnya.
“Aku tadi nyari nama Kak Ian....” aku berhenti lagi.
Kak Ian tersenyum sejenak melihat tingkahku yang mendadak melow.
“Gak papa, Sayang. Kamu harusnya senang dong bisa lolos, ya kan?” Kak Ian mengelus kepalaku lagi.
“Tapi Kak Ian nggak....” ujarku sedih.
Kak Ian kali ini melebarkan senyumnya.
“Gak papa, Va, gak selamanya kita bisa mendapatkan apa yang kita harapkan. Justru aku lega kalo kayak gini,” kata-kata Kak Ian mengundang rasa heranku.
Aku menatapnya bingung. “Kok malah lega?”
“Ya kan aku gak mesti bingung membagi waktu, antara belajar persiapan olimpiade dengan latihan basket,” jawab Kak Ian. “Justru abis ini aku bisa makin fokus latihan. Sabtu depan kan udah turnamen.”
Aku menatap Kak Ian sekali lagi, berusaha mencari apakah dia pura-pura lega atau hanya alasan saja biar aku tidak sedih lagi. Tapi Kak Ian sepertinya memang benar lega. Ia kembali menepuk kepalaku pelan.
“Udah.. kok kamu yang sedih sih? Sekarang harusnya mulai persiapan lagi. Bentar lagi olimpiade provinsi. Harus belajar lebih keras!”
Aku akhirnya mulai bisa tersenyum lagi, dan mendengar kata-kata Kak Ian yang terakhir, aku justru jadi deg-degan.
“Kira-kira bisa gak ya?” tanyaku meremas-remas tanganku.
“Bisa dong. Asal belajar,” Kak Ian mengangguk-angguk meyakinkanku. “Aku doain semoga dimudahkan ya Sayang.”
Aku mengangguk. “Aku juga doain moga turnamen nanti Kak Ian bisa menang. Latihannya harus lebih semangat lagi.”
“Aamiin.....” Kak Ian mengamini doaku.
Iran akhirnya mendekat begitu mengamati aku dan Kak Ian sudah sama-sama bernafas lega.
“Hei, selamat ya Iran..” Kak Ian menyalami Iran.
Iran balas menyalami Kak Ian dengan senyum meski juga agak tidak enakan.
“Semangat ya Kak buat basketnya nanti. Kalo gak lolos olimpiade, minimal menang turnamen ya.”
“Aamiin. Makasih.”
“Mm.. Va, gue mau balik ama Kak Imran ya. Tadi udah janjian,” kata Iran seraya pamit padaku dan Kak Ian.
Aku mengangguk. Aku sedang tidak berminat menggodanya. Huaaa... rasanya masih menyayangkan kenapa pacarku tidak lolos juga sepertiku, tapi aku tidak boleh begini terus. Kak Ian kan tidak mempermasalahkannya. Tapi tetap saja, ada rasa tidak enak. Kak Ian lantas mengajakku menuju koridor dan duduk di sana.
“Sayang nanti malam boleh main ke rumah gak?” tanya Kak Ian.
“Bukannya Kak Ian mau latihan basket?” tanyaku balik.
“Latihannya kan nanti sore.”
“Mm... boleh aja sih,” jawabku.
“Yaudah.. nanti kita nonton film yuk. Aku ada beberapa stok film di harddisk. Nanti aku bawa ke rumah.”
“Kenapa gak nonton di bioskop aja?” tanyaku heran.
“Gak papa, biar bisa lebih nyantai. Lagian kalo mau jalan mending kita nunggu abis olimpiade sama turnamen kan, biar gak ada beban pikiran lagi.”
Aku manggut-manggut mengerti. Benar juga kata Kak Ian. Kami harus menjaga kondisi masing-masing, apalagi Kak Ian menggunakan fisik jadi stamina harus terjaga, sedangkan aku harus belajar. Huftt... wish me luck!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Datang Terlambat
Novela JuvenilAku ingin menunjukkan padamu, bahwa dalam setiap kisah cinta, tak selalu berakhir seperti yang diharapkan. Karena aku, satu di antara yang tak beruntung itu. #1 in ekskul (16/06/2019) #6 in watty2019 (22/07/2019) #21 in fiction (25/07/2019)