58

417 11 0
                                    

Aku sedang membereskan buku ke dalam ranselku begitu bel istirahat berbunyi. Iran juga melakukan hal yang sama. Tapi kemudian ia bersorak begitu dilihatnya Geo berdiri menunggu di depan pintu.

“Cieeeee ada Geo tuh, Lit!” seru Iran meledek.

Aku terkejut begitu mendapati Geo memang berdiri di depan sana, sambil tersenyum melihat ke arah..... tunggu, aku tidak tahu, Geo sedang memandang siapa? Aku atau Lita? Karena kami duduk dalam satu baris. Aku di depan, dia di belakangku. Tetapi begitu aku menoleh ke arah Lita, kulihat ia membalas tersenyum ke arah Geo sambil melambai. Dalam hati aku tertawa. Masa iya Geo tersenyum sama gue? Jelas-jelas udah jadi gebetan Lita. Tapi soal chat semalam? Katanya mau ngomong sesuatu?

“Va, ayo!” tau-tau Lita sudah berdiri di samping bangkuku, seraya menarik lenganku perlahan.

Eh? Ayo apaan nih?

“Mau ke mana?” tanyaku heran. Bukannya dia akan pergi ke kantin bareng Geo? Buktinya Geo sudah menjemputnya.

“Lo ikut kita ya, ada yang pengen diomongin,” jawab Lita menyengir sesaat. Aku mengerutkan dahi. Kita itu maksudnya Lita dan Geo kan? Kenapa gue disuruh ikutan?

“Eh Lit, lo kan mau makan bareng Geo, ngapain ngajak-ngajak Riva? Jangan mau Va, nanti lo jadi obat nyamuk hahahaha.....” potong Iran, “Mending lo sama gue aja.”

Kalau dipikir-pikir, Iran benar juga. Malas banget gue jadi obat nyamuk di antara Geo dan Lita. Teman sih teman, tapi.....

“Kali ini lo ikut kita dulu, Va, ada yang pengen diomongin,” ulang Lita lagi, kembali menarik lenganku, menyuruhku bangkit. Karena rasa penasaranku lebih besar, aku mengiyakan Lita meski dengan ogah-ogahan.

“Ran, sori ya, gue bareng Lita dulu,” ujarku nggak enak kepada Iran.

“Yaaaah.....” Iran sedikit kecewa.

“Udah Ran, lo bareng gue sini deh,” Icha merangkul pundak Iran sambil memandangku dan Lita, “Eh tapi kita dikasih tau dong apa obrolan kalian.”

“Kepo deh......” Lita tersenyum meledek, kemudian mengajakku segera keluar menemui Geo. Cowok itu sudah menunggu beberapa menit sejak tadi. Aku hanya berusaha menetralkan jantungku agar tidak deg-degan. Lagian kenapa harus deg-degan sih? Kami kan hanya teman. Aku, Lita, dan Geo berjalan beriringan menuju kantin. Kulihat Icha dan Iran mampir sejenak di kelas sebelah sebelum akhirnya menyusul ke kantin.

“Kalian pesan apa? Biar aku aja yang pesanin,” kata Geo begitu kami duduk di kursi.

“Gue bakso aja,” jawab Lita. “Sama teh manis.”

“Kamu, Va?” tanya Geo padaku. Jujur aku masih belum bisa fokus, tapi segera kujawab, “Gue jus alpukat aja.”

“Gak makan, Va?” tanya Lita heran.

“Masih kenyang sih, Lit, nanti deh gue makan lagi kalo pulang nanti,” jawabku berkilah.

Lita mengangguk, sedangkan Geo bergegas membuat pesanan kepada para penjual. Setelah itu ia kembali.
Lita terlihat memainkan ponselnya sejenak, sedangkan Geo hanya diam. Aku mencoba menghela nafas normal, walaupun agak canggung juga rasanya sekarang. Duh, kenapa sih?

“Katanya pengen ngomong?” tanyaku to the point pada akhirnya. Aku sengaja tidak menyebut nama, karena kedua makhluk di depanku itu sama-sama bilang katanya ada yang mau dibicarakan.

“Iya, Va,” Lita mengangguk, akhirnya ia menyingkirkan ponselnya dari tatapannya. “Geo tuh mau ngomong.”

Aku berpaling menatap Geo.

“Jadi gini, Va, aku pengen nanya, kamu ada something special sama Aris, gak?” tanya Geo memulai.

Aku mengernyitkan alis. Something special?

“Pacaran maksud lo?” tanyaku memastikan. Geo manggut-manggut.

“Nggak, kenapa?” tanyaku lagi.

Sejenak Geo dan Lita saling berpandangan, tapi kemudian Geo menjawab, “Ngg... kalo dari kita sih....” okey, kita itu Geo-Lita, jadi aku sudah menyingkirkan jauh-jauh pikiran bahwa Geo akan menembakku. Lagipula menembakku di depan Lita? Bunuh diri namanya.

“.....kita nyaranin sebaiknya kamu jangan terlalu dekat sama Aris, Va,” lanjut Geo, mencoba mengamati reaksiku setelah berkata begitu. Aku masih mengernyitkan alis, mencoba mencerna ucapan Geo barusan.

“Emang Kak Aris kenapa, Geo?” tanyaku heran, meskipun bukan pertama kalinya ada seseorang yang melarangku dekat-dekat dengan Kak Aris, karena sebelumnya Iran juga mewanti-wantiku. Tapi aku tidak peduli karena alasan Iran melarangku kan demi menjodohkanku dengan Kak Ian. Tapi kali ini aku ingin tahu alasan Geo dan Lita melarangku dekat dengan salah satu preman sekolah itu.

“Jadi gini, Va, kemarin siang gue liat Kak Aris sama teman-temannya lagi berantem sama anak-anak STM dekat halte. Pas mobil gue lewat. Untung aja kemarin mereka berantemnya gak lagi lempar-lemparan batu, cuman tonjok-tonjokan aja. Tapi ya tetep aja, berantem ya berantem,” jawab Lita.

Aku menoleh ke arah Lita sambil melemparkan pandangan serius lo?

“Tapi kemarin gue rapat, dia ada kok. Lo juga ada kan, Geo?” tanyaku sedikit tidak percaya.

“Iya Va, tapi kita rapat agak molor kan kemarin. Kak Aris datangnya telat, setelah dia abis berantem,” jawab Geo.

Aku diam, tidak tahu mau berkata apa. Aku mungkin tidak terlalu anti-berantem atau anti-tawuran, tapi jelas aku juga tidak setuju dengan perkelahian, apalagi ini antar remaja sekolah walaupun bukan hal yang baru lagi. Remaja Indonesia tanpa tawuran? Mitos.

“Mungkin ini hal biasa aja buat kita semua, Va,” lanjut Lita, “Tapi gue pengen, kalo bisa, dan emang selagi bisa, lo jaga jarak deh ama Kak Aris. Bukan kita ngelarang lo temenan sama siapa aja, termasuk Kak Aris, tapi kita menjaga biar lo gak kenapa-napa.”

“Ya mungkin kita gak bisa nolak kalo ada bahaya, tapi seenggaknya jauh sebelum itu, kita masih bisa memilih dengan siapa kita bergaul, biar kita juga bisa meminimalisir bahaya itu datang.”

“Gini Va, mungkin aku gak begitu kenal dengan anak-anak STM, tapi bukan rahasia lagi kalo mereka itu solid banget. Musuh teman mereka adalah musuh mereka juga, dan pasti besok-besok kalo ada kesempatan, mereka bakal nyerang musuhnya di manapun. Dan kita gak mau, pas kamu lagi bareng Aris, trus ada musuh-musuhnya di tempat yang sama, dan kamu juga ikut jadi sasaran mereka,” jelas Geo panjang lebar sambil menggeleng-geleng.

Aku lagi-lagi diam. Tidak tahu harus berkomentar apa, meski dalam hati membenarkan kata-kata Lita dan Geo tadi. Diam-diam aku ngeri juga membayangkan saat aku harus ikut jadi sasaran berantem mereka. God, jangan sampe!

“Va, minum dulu!” ajak Lita menyodorkan segelas jus alpukat milikku. Aku baru sadar kalau pesanan kami sudah datang. Lita sendiri mulai menyantap baksonya, begitu juga dengan Geo yang memesan gado-gado.

“Udah, gak usah terlalu dimasukin ke hati, hehehe,” sahut Lita, “Lagian kita percaya kok Va, lo bakal memilih yang terbaik untuk diri lo, termasuk dalam hal pertemanan ataupun urusan hati.”

Aku menyengir pelan, sedangkan Geo mengangguk setuju.

***

Cinta Datang TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang