46

985 32 0
                                    

Jam 6 pagi. Aku sudah selesai mandi. Demi ikut olimpiade tingkat sekolah nih, aku jadi menggebu-gebu, nggak sabaran mengerjakan soal-soal olimpiade.

Susah gak ya? Bisa lolos gak ya?

Aku meremas jemari tangan, berusaha menghilangkan kegugupan.

“Rajinnyaaa yang mau olimpiade, pagi-pagi udah cantik,” puji mama sambil menyodorkan segelas susu hangat kepadaku. Aku tersenyum, sedikit cemas.

“Ma, doain ya biar olimpiade Riva berjalan lancar. Pertama kalinya nih, yaah walaupun baru tingkat sekolah sih,” pintaku.

“Pasti dong mama doain. Apalagi cowok gantengmu itu, mama doain kalian lolos deh, pokoknya sampe tingkat nasional, internasional, bawa pulang piala yang gede!” kata mama semangat.

“Aamiin......” jawabku cepat, tidak kalah semangat.

Mama tersenyum senang.

“Yaudah sarapan buruan, bentar lagi cowok ganteng datang kan?” kata mama.

“Ma, namanya cukup Ian aja, gak usah cowok ganteng. Kepanjangan,” keluhku bosan mendengar kata ‘cowok ganteng’. Entah bagaimana perasaan Kak Ian setiap mendengar mama ngomong begitu. Mungkin Kak Ian bakalan ilfeel, atau malah senang karena dipuji? Yang jelas aku kok mulai eneg ya, malu juga. Mama ih!

“Emang dia ganteng kok, wajar dong dipanggil cowok ganteng,” mama membela diri.

Aku menggeleng-geleng sambil menghela nafas. Lebih baik aku sarapan saja. Kalau berdebat terus bisa-bisa aku malah telat, padahal udah dibela-belain bangun pagi-pagi buta.

Tok.....tok.....tok.......

Suara ketukan pintu membuatku dan mama sama-sama menoleh ke arah ruang tamu.

Mama berseru senang, “Nah, itu dia! Mama bukain pintu dulu ya, kamu habisin aja sarapannya.”

Mama bergegas menuju ruang tamu untuk menyambut Kak Ian. Aku menyendok lagi, dan lagi. Kemudian aku meneguk segelas susu hangat di hadapanku. Enak banget nih, dingin-dingin begini minum susu hangat. Tidak lama kemudian, aku bangkit dari kursi, bersamaan dengan mama dan Kak Ian yang masuk ke ruang makan.

“Pagi, Va,” sapa Kak Ian tersenyum.

Aku membalas senyumnya, “Pagi Kak. Udah sarapan?”

“Iya, sarapan dulu. Biar pikirannya segar, bisa jawab soal-soal dengan baik,” mama setuju dengan tawaranku pada Kak Ian.

“Kebetulan udah tadi di rumah, Tan,” jawab Kak Ian sopan pada mama, membuat mama memukul bahunya pelan.

“Kebetulan mulu. Kan Tante udah pernah bilang, gak ada kebetulan loh, semuanya udah takdir.”

“Hmm.. hehe iya Tan, takdirnya aku tadi udah sarapan di rumah...” jawaban Kak Ian serasa ingin membuatku tertawa. Ada-ada aja.

“Ya udah kita langsung berangkat aja sekarang, Kak. Iran juga udah siap di rumahnya,” kataku.

“Ya udah hati-hati di jalan ya kalian bertiga. Semoga Iran juga sukses olimpiadenya,” mama menitip doa.

Aku dan Kak Ian mengamini. Kami pamit pada mama dan papa, lalu berangkat naik mobil papa Kak Ian, biar bisa barengan Iran juga. Tidak lama kemudian Iran sudah duduk manis di belakang.

“Huaaah, gue deg-degan nih, Va! Ciyusss.....!” Iran langsung heboh begitu mobil melaju kembali.

“Gue jugaaa... perdana sih,” seruku.

Kak Ian terkekeh sejenak.
“Yang penting percaya diri aja, yakin menjawab soal, apalagi kalian kan udah belajar lumayan,” saran Kak Ian. Aku dan Iran mengangguk.

“Kak Ian emang gak deg-degan lagi ya?” tanya Iran.

“Deg-degan sih, cuman yaaa.... dihadapin aja. Anggap aja kita mau bimbel, ngerjain soal-soal latihan. Hehehe.”

Aku menyengir. Tetap saja, olimpiade betulan itu beda rasanya dengan bimbel. Hanya 10 menit, kami sampai di sekolah. Masih tampak sepi. Tapi justru karena itu, kami memiliki persiapan cukup matang.

“Eh, eh, gue ke kelas Kak Imran dulu yaaa... mau penyegaran mata dan mental, hihihi!” bisik Iran.

“Emang dia udah datang?” tanyaku.

“Iya dong.... kan sebelumnya gue sms Kak Imran. Lo sama Kak Ian aja ya.. bye bye!” Iran menepuk bahuku perlahan, lalu menghilang ke kelas 3 Ipa 1, kelas Kak Imran. Dasar Iran.

Sementara Kak Ian mengajakku duduk di bangku koridor.

“Masih deg-degan?” tanya Kak Ian.

Aku menoleh, dan menyengir cukup lebar. “Masih, Kak.”

“Jangan lupa doa ya sebelum ngerjain soalnya. Apapun hasilnya nanti, itulah wujud dari kerja kerasmu belajar selama ini. Aku percaya kamu bisa, Va!” kata Kak Ian mengusap kepalaku.

Duh, penyegaran hati banget. Ups.... aku mikir apaan sih. Fokus Va, fokus....... jangan mikir lain-lain dulu sebelum olimpiade berlalu. Aku kembali menyengir.

Kak Ian lalu mengeluarkan hpnya dan menekan sebuah tombol. Ia memanggilku.

“Va, senyum dulu,” katanya.

Aku refleks menghadap ke arah lensa kamera hp Kak Ian dan tersenyum. Selfie sebelum olimpiade.

***

Cinta Datang TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang