“Assalamu alaikum.” Aku memberi salam dan sesegera mungkin menaiki tangga menuju kamar.
“Waalaikum salam...” sepertinya Mama dan Papa heran melihatku tergesa-gesa berjalan.
“Riva, gak makan dulu?” seru Mama.
“Masih kenyang, Ma. Tadi abis makan brownies,” jawabku setengah berteriak karena aku sudah berada di atas dan sebentar lagi mencapai pintu kamarku.
Setelah kupastikan Mama ataupun Papa tidak berkata kepadaku lagi, aku segera masuk ke kamar dan meletakkan tasku begitu saja di atas meja. Aku harus secepatnya menelefon Iran.
Tut....tut....tut......
“Halo, Va!” Iran menyapaku begitu ia mengangkat telefonku.
“Iraaaaaaan....” rengekku kemudian, membuat Iran keheranan.
“Loh? Lo kenapa, Va?” tanyanya.
“Iran.... huaaa gue bingung, plus deg-degan! Sampe sekarang deg-degannya belom ilang-ilang,” keluhku.
“Emang lo kenapa, Va, kok bisa deg-degan gitu? Btw lo deg-degannya sejak kapan?”
“Sejak tadi di jalan. Untung gue gak pingsan.”
“Hush.. ada-ada aja. Eh serius nih, lo cerita dong ada apaan sebenarnya? Dari tadi ngomongnya muter-muter gitu. Gue kan jadi ikutan bingung,” Iran mendesakku agar segera bercerita.
Aku menarik nafas sejenak sebelum memberitahunya.
“Jadi Kak Ian tadi nembak gue.”
“OMAIGAD!” seru Iran begitu excited, yang sepertinya bisa kuduga, tapi aku tetap berpikir positif. Aku yakin Iran akan memberiku saran terbaik. Dia sahabatku.
“Serius lo, Va? Gimana, gimana? Ceritain sedetail-detailnya dong, gue beneran penasaran.”
Aku menghela nafas, dan menceritakan apa saja yang dikatakan oleh Kak Ian, tentunya dengan seingatku, karena aku hampir tidak konsen saking deg-degan dan salting saat di mobil tadi.
“Huaaaa gue ikut seneng dengernya, Va. Akhirnya Kak Ian nembak lo juga,” Iran sepertinya sedang tersenyum lebar. Aku bisa memperkirakannya.
“Emang lo udah tau Kak Ian bakal nembak gue?” tanyaku curiga.
“Gak sih, tapi gue yakin banget dia pasti ada rasa sama lo, gak mungkin nggak. Hehehe...” Iran terkekeh, kemudian mulai berbicara serius, “Tapi lo bingung kenapa Va? Apanya yang bikin lo bingung?”
“Ya itu yang bikin gue bingung, Ran, gue mesti jawab apaan?” tanyaku galau.
Kulihat jam tangan. Sudah hampir malam, tapi aku tidak tahu malam jam berapa Kak Ian akan menelefonku nanti. Aku harus meminta masukan dari Iran dulu sebelum ia menghubungiku.
“Va, sebagai sahabat lo, gue tentu aja seneng banget dengernya, dan emang dari dulu gue setuju kalo kalian berdua jadian. Ya tapi lo jangan liat dari guenya. Lo harus liat dari diri lo sendiri, gimana hati lo, gimana perasaan lo ke Kak Ian.”
Aku diam sejenak.
“Gue tanya deh ke lo, lo seneng gak, bisa kenal ama Kak Ian?” tanya Iran.
“Senang sih senang aja. Yah, walaupun awalnya ada kejadian gak mengenakkan,” jawabku.
“Tapi lo udah maafin Kak Ian kan?”
“Iya Ran, lagian udah lama juga kejadiannya. Kan lo tau sendiri gue ama dia udah baikan. Kalo gak, gak mungkin gue temenan sama dia sampe sekarang.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Datang Terlambat
Teen FictionAku ingin menunjukkan padamu, bahwa dalam setiap kisah cinta, tak selalu berakhir seperti yang diharapkan. Karena aku, satu di antara yang tak beruntung itu. #1 in ekskul (16/06/2019) #6 in watty2019 (22/07/2019) #21 in fiction (25/07/2019)