70

332 12 0
                                    

Akhirnya olimpiade tahap kabupaten sudah selesai. Rasanya setingkat lebih deg-degan dibanding olimpiade tahap sekolah, tapi aku juga lebih semangat menjawab soal-soalnya. Jelas, persiapan lebih matang dibanding olimpiade kemarin. Beberapa peserta dari sekolah lain sudah berpulangan satu persatu. Aku sendiri sedang berada di parkiran bersama Iran, Kak Ian, dan Kak Imran, juga bersiap pulang.

“Beneran nih Ran, lo gak ikut pulang sama kita?” tanyaku menggoda Iran.

Kak Imran sudah siap dengan jaket dan scarf hitam di lehernya, serta sudah naik di motornya. Tinggal Iran aja nih yang belum naik di boncengan motor.

“Ihhh... gue kan berangkat bareng Kak Imran, masa pulangnya bareng yang lain?” ujar Iran.

“Kita kan bukan orang lain, Ran,” godaku lagi, sambil melirik Kak Ian, meminta dukungan.

Iran berusaha memberiku isyarat tatapan tajam seolah berkata ih-lo-rese-banget-deh-Riva.

“Va, kita kan berempat nih,” ujar Kak Imran menyengir, “Nah biar adil, 4 orang dibagi jadi dua kelompok, berapa tuh?”

“Dua, Kak,” jawabku.

“Nah berarti kamu sama Ian, aku sama Iran. Pas tuh dua-dua,” Kak Imran menyengir lebar.

“Tuuuuh dengerin Va, adil kan?” Iran menjulurkan lidah. Sialan, kayaknya dua orang ini sama aja deh. Aku mencibir.

“Yaudah deh, have a nice trip buat lo Ran dan buat Kak Imran juga,” ujarku.

“Hati-hati kalian, kayaknya rada mendung,” ujar Kak Ian menunjuk langit. Kami bertiga lantas kompak menengadah.

“Eh iya, Ran, sana lo buruan otw ama Kak Imran!” aku mendorong bahu Iran agar segera naik motor.

“He eh.. kita duluan ya, Va, Kak Ian,” Iran mengangguk seraya pamit. Ia naik di boncengan motor dan memasang helmnya.

“Kalian hati-hati ya. Pergi berduaan ntar yang ketiga bukan setan tapi cinta,” Kak Imran tertawa sambil mulai menyalakan mesin motornya, “Oke kita cabut ya!”

Iran berdadah-dadah ria kepadaku dan Kak Ian sebelum motor Kak Imran melaju meninggalkan lokasi olimpiade. Duh, senyumnya Iran lebar banget. Aku hanya menggeleng-geleng mengamati kepergian keduanya.

“Va, gak ada yang ketinggalan di dalam kan?” tanya Kak Ian memastikan.

Aku menggeleng, “Nggak ada kok, Kak.”

“Yaudah, ke mobil yuk.”

Aku mengangguk dan mengikuti Kak Ian masuk ke mobil. Kami juga meninggalkan lokasi olimpiade menuju pulang.

“Eh iya pengumumannya kapan Kak?” tanyaku membuka percakapan.

“Belum tau sih, Va. Tapi tahun lalu lumayan juga tuh pengumumannya sekitar sebulanan lebih gitu.”

Wow, lama juga ya.

“Berarti selama nunggu, bakalan free dong gak ada bimbel?” ujarku bergumam, tapi Kak Ian tetap menyahut, “Iya Va. Kenapa?”

“Mmm... kayaknya bisa tuh kalo aku nunggu sambil belajar merajut sama mamanya Kak Ian.”

“Bisa lah Va, mama pasti senang kalo kamu main ke sana. Atau, gimana kalo kita ke rumah mama?” tanya Kak Ian meminta pendapat, tapi kemudian ia meralat, “Eh jangan sekarang deh, kita abis olimpiade, pasti kamu capek mau istirahat, Va.”

“Jadi kapan, Kak?”

“Minggu pagi kamu ada kegiatan gak, Va?” tanya Kak Ian menoleh padaku.

Aku berpikir lantas menggeleng. “Kayaknya nggak, Kak.”

“Yaudah nanti aku jemput trus kita ke rumah mama, gimana?”

Aku mengangguk setuju. “Oke.”

***

Cinta Datang TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang