Senin yang mendung. Sekarang sudah mulai musim hujan. Aku mempercepat langkah menuju kelas, dan segera berbaris untuk upacara. Iran sudah datang lebih dulu. Ia melambai padaku.
“Cepet banget datangnya!” tegurku.
Iran tersenyum. “Iya dong, daripada kena hujan di jalan, mending hujannya di sekolah.”
“Kok gue gagal paham ya?” tanyaku bingung.
“Gak buat dipahami kok, dengerin aja.”
Lagi-lagi aku gagal paham, tapi sudahlah. Aku mengamati sekeliling. Kak Andra tetap tidak terlihat dalam barisan. Ke mana ya dia? Kemudian mataku tertuju pada sepasang mata yang juga menatapku dari kejauhan. Kak Ian. Ia tersenyum padaku. Aku hanya menyengir, kok agak salting ya?
“Ehem, yang tatap-tatapan!” bisik Dedi di sampingku. Aku terkejut, dan segera menoleh.
“Apaan?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Heleh.... pake nanya lagi. Ituuu tuh si mas bro! Dianathan Dewa.”
“Mana?” tanyaku lagi pura-pura mencari.
Dedi berdecak-decak. “Gaya lo gak banget deh Va, salting abis sumpah. Hahahaha!”
“Apaan sih?” gerutuku.
“Udah sejauh mana kalian? Masih pedekate apa udah ehem-ehem?” tanya Dedi kepo.
Aku mengangkat alis. “Ehem-ehem apaan?”
“Ya itu.. jadian!” Dedi mengedipkan sebelah matanya, menggodaku.
Ih, nyebelin banget deh. Bisa-bisanya dia menggodaku. Ketularan Iran apa gimana nih?
“Bentar lagi jadian Ded, tenang ajaaa!” Iran menimpali tiba-tiba.
“Ssssst jangan berisik, kelas kita nanti disorot tau?” elakku mengalihkan topik.
Dedi dan Iran tergelak. Mereka memutuskan kembali fokus untuk mengikuti upacara. Fiuh, untung saja.
Tapi tatapanku lagi-lagi bertemu dengan mata Kak Ian. Tuhan, bisa nggak ya aku pindah barisan ke belakang saja? Biar gak bertatapan gini. Kan salting...........
***
Aku berjalan gontai menuju perpustakaan sekolah. Daripada menganggur nggak ada guru, mending aku tidur di perpustakaan. Kuajak Iran, tapi katanya dia akan menyusul nanti. Aku masuk ke ruang perpustakaan, mengambil sebuah buku tebal entah buku apa, yang penting enak dijadikan bantal. Lalu aku memilih bangku di pojokan, dan yang pasti tidak terlihat oleh staf perpustakaan. Biar nggak kena teguran. Sebelumnya aku mengirim sms pada Iran dan memberitahunya posisi tidurku di mana.
Akhirnyaaa....
Gara-gara begadang kerja PR nih, aku jadi ngantuk begini. Didukung hujan yang mulai turun dengan lebat, aku mulai memejamkan mata.
Tidak lama kurasakan bangku di sampingku digeser perlahan oleh seseorang. Awalnya kupikir Iran yang datang, tapi..... kok aroma parfum cowok ya?
Aku membuka mata, dan seseorang yang tidak asing bagiku memamerkan senyum manisnya sambil menelungkupkan wajah menghadap ke arahku.
“Hai Ri...” sapanya dengan senyum lebar.
Aku tersentak, lantas mengangkat kepalaku dari meja.
“Kak Aris?”
Kak Aris tersenyum lagi dan menegakkan diri.
“Abis mimpi apa?”
Aku menatapnya bingung. Sangat bingung. Ngapain cowok slengean ini ada di sini? Di sampingku? Mengajakku ngobrol? Ngapain?
“Ri....”
“Aku Riva, Kak.”
“Iya, Ri itu dari kata Riva kan?”
Aku menatapnya lagi. Bingung. Semua orang memanggilku Va untuk menyingkat namaku. Baru kali ini ada yang memanggilku dengan sebutan: Ri.
“Kamu mau tau K itu siapa?” tanyanya lugas.
Aku berpikir sejenak dan kemudian berseru, “Jadi K itu Kak Aris? Iya?”
Kak Aris tidak mengangguk, hanya tersenyum. Ia mengulurkan tangan.
“Salam kenal, aku K. Kharisma.”
“Riva, Kak,” jawabku membalas uluran tangannya. “Gimana bisa Kak Aris tau aku di sini?” tanyaku heran.
“Takdir. Kita ditakdirkan bertemu di sini. Saat ini.”
Aku mengernyitkan alis. Apa sih maksudnya? Dan apa maunya?
“Mmm Kak Aris gak belajar?”
“Ini lagi belajar. Belajar mengenalmu.”
Arghhh, plis deh kok aku digombal gini ya. Aku hanya menyengir sejenak. Sesaat aku bingung, mau ngomong apa, mau melakukan apa. Kak Aris kayak hantu, muncul tiba-tiba padahal aku baru saja memejamkan mata dan sedari tadi tidak ada siapa-siapa di dekatku.
“Ri, boleh aku jadi teman kamu?” tanya Kak Aris.
“Kenapa gak boleh Kak?”
“Soalnya aku ketua preman di sini. Dan kamu pasti takut.”
Aku mengamati sejenak Kak Aris, dan akhirnya menyahut, “Apanya yang mesti ditakuti? Karena slengean?”
Kak Aris mengangguk. “Bisa jadi.”
“Hahaha, ngapain takut. Papaku kan alumni preman, dia jagoan sekolah!” seruku.
“Premanan mana aku sama papamu?”
“Papaku lah! Hobinya tawuran!” sahutku menyombongkan papa. Eh, tapi kok aku kesannya bangga gini ya? Aduh...
Kak Aris tertawa. Ia mengayunkan telunjuknya sejenak ke arahku. “Menarik!”
Aku terdiam melongo. Apanya yang menarik?
“Kak Aris nggak belajar? Kalo aku emang gak ada guru. Mending Kak Aris masuk kelas,” ujarku.
Kak Aris menggeleng. “Kenapa harus masuk kelas? Sedang di sini pun aku belajar.”
“Kenapa gak sekalian kenapa harus sekolah?” tanyaku jengkel.
“Karenaaa.........” Kak Aris sedikit mendekat ke arahku. Aku jadi harus memundurkan diriku beberapa senti.
“Karena aku jadi bisa menemukanmu di sekolah ini!”
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Datang Terlambat
Fiksi RemajaAku ingin menunjukkan padamu, bahwa dalam setiap kisah cinta, tak selalu berakhir seperti yang diharapkan. Karena aku, satu di antara yang tak beruntung itu. #1 in ekskul (16/06/2019) #6 in watty2019 (22/07/2019) #21 in fiction (25/07/2019)