35

899 30 0
                                    

Benar saja, Kak Ian hari ini kembali naik motor. Aku hanya tersenyum pelan begitu ia menungguku di parkiran. Iran berdehem-dehem saat kami berjalan ke arah parkiran. Ih, malu-maluin aku aja nih anak.

“Ran, sori ya gue tinggal duluan,” pamitku.

“Alaaah pake sori-sori segala. Gue malah demen nih liat kalian pulang bareng, hahaha...” kata-kata Iran barusan membuatku sontak melotot dan mencubit lengannya. Duh, jangan sampai Kak Ian mendengar kata-kata Iran barusan.

“Dah sana, hus hus. Malu-maluin gue aja lo.” usirku sambil berbisik.

Iran malah ngakak. “Iyaa.. iyaa.. takut amat gue ganggu. Dah sana, temuin pangeran lo!” Iran balas berbisik di kupingku. Tapi setelah itu dia tertawa ngakak lagi.

Iihh.. aku buru-buru menghampiri Kak Ian.

“Yuk, Kak!” ajakku.

Makin lama nanti Iran makin ngomong ngawur dan bisa-bisa Kak Ian jadi salah sangka. Nanti dikiranya aku ada rasa.

Kak Ian menyodorkan helm padaku, yang segera kuterima dan kukenakan. Ia sendiri mengenakan helmnya, dan mulai menyalakan mesin motor.

“Yuk, naik Va!” serunya.

Aku menurut. Tidak lama motor melaju perlahan melewati Iran yang masih berdiri menungguku dan Kak Ian berlalu.

“Jagain sobat gue yaaa! Ati-ati di jalan!” teriak Iran sambil melambai girang.

Duh, ekspresinya itu loh. Untung saja aku duduk di belakang Kak Ian. Dia nggak akan melihat ekspresiku.
Kak Ian mengacungkan jempol pada Iran, lalu menyalakan klakson sejenak, kemudian mengendarai motor keluar dari gerbang sekolah.

“Motor Kak Ian udah sembuh ya?” tanyaku basa-basi.

“Iya. Jadi sekarang udah bisa naik motor lagi,” jawabnya.

Aku mengintip dari balik kaca spion. Btw Kak Ian ganteng juga ya sebenarnya, apalagi dari balik helm. Matanya menatap lurus ke arah jalanan.

“Segitunya ngeliatin aku,” Kak Ian terkekeh.

Aku terkejut, lalu berlindung di balik punggungnya, menyembunyikan wajah dari kaca spion. Duh, kok dia bisa tau sih aku menatapnya?

“Va, kita makan dulu yuk baru nyari buku. Kamu belum makan siang kan?” tanya Kak Ian yang menatapku dari balik spion.

“Ha? Oke...” sahutku mengangguk-angguk.

Kurasakan Kak Ian tersenyum menatapku dari balik spion kemudian kembali fokus pada jalanan. Aku menghela nafas berat. Jangan salting... jangan salting....

“Makan di mana?” tanya Kak Ian lagi.

“Di mana aja boleh,” jawabku menatap bagian belakang lehernya. Bersih banget sih cowok ini.

“Di kafe Publice gimana? Gak jauh dari toko buku juga. Baru launching tuh kemarin, aku juga skalian mau nyoba. Deal?”

“Deal....” sahutku mengangguk, terserah mau dia lihat atau tidak.

“Oke.. Let’s go!”

Acara makan berjalan biasa, untung saja aku nggak salting gimana gitu. Sedikit aneh sih rasanya makan berdua bareng cowok, apalagi untuk orang yang sebelumnya ada masalah denganku. Tapi Kak Ian bersikap biasa saja, maka aku juga bersikap biasa.

Selanjutnya kami ke agenda utama, yaitu mencari buku. Aku dan Kak Ian berpencar, kami mencari buku masing-masing. Aku menuju bagian buku komputer. Tiba-tiba aku jadi bingung sendiri. Mau beli buku komputer yang mana? Kayak gimana sih contoh soal olimpiade komputer?

Cinta Datang TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang