66

361 11 0
                                    

“Vaaaaa.....” teriak Iran berlari menghampiriku, lalu mencengkeram lenganku cukup kuat. Duh, pagi-pagi sudah bikin meringis.

“Aduhhh... sakit oy! Lo kenapa, Ran?” tanyaku setelah berusaha melepaskan cengkeraman tangannya.

Iran menghela nafas berat. “Gue deg-degan banget, sumpah! Kira-kira bisa lolos olimpiade gak ya? Huaaaaaaah!”

“Yaelah Ran, kan olimpiadenya besok, bukan sebentar,” ujarku geli, tapi ternyata aku juga mendadak ikutan deg-degan.

“Tapi Ran, kok sama ya? Gue jadi deg-degan juga nih inget besok. Lo sih, pake ngomong deg-degan segala,” aku memijit tengkukku sejenak.

“Ya mau gimana lagi? Gue kan emang deg-degan Va...” keluh Iran mengembuskan nafas berat.

Ia kemudian menyadari penampilanku yang kembali memakai jaket walau hari sedang cerah.

“Hayoooo mau ke mana lagi lo, Va?” tebaknya menunjukku sambil menyengir lebar, seakan sudah lupa dengan perasaan deg-degannya barusan.

“Mau nemenin Kak Ian,” jawabku malas melihat tampang Iran yang meledekku.

“Suit suit.... setia banget ya lo Va hahahhaa....”

Kucubit lengan Iran sejenak, “Mulai deh, mulai!”

“Aduuuuuh, jangan pake cubit napa sih?” Iran buru-buru menarik lengannya dari cubitanku. “Lagian kan gue bener, ya kan? Eh gimana Va, ada perkembangan apa nih sama hubungan lo dengan Kak Ian? Kasih tau dong.....”

“Perkembangan apaan?” tanyaku heran.

“Iiiiih...ya perkembangan hubungan lo ama Kak Ian. Masa gitu-gitu aja sih? Kalian kan lumayan deket, kadang suka bareng-bareng,” ujar Iran.

“Barengnya kan kalo ada urusan aja, kayak bimbel,” sahutku membela diri.

Iran menyengir lagi sambil mencolek daguku. Ih, nih anak makin rese.

“Yaudahlah yaa, gak papa pelan-pelan tapi pasti. Slow but sure,” Iran tertawa, membuatku ingin mencubitnya tapi tidak jadi. Bodoamat ah!

Sebentar lagi kami sampai di kelas. Tau-tau Kak Aris muncul dari arah depan. Duh, gimana nih? Sejenak aku dan Iran berpandangan.

“Ri....” sapa Kak Aris menatapku, kemudian menyadari tatapan Iran yang nggak santai.

“Aku pengen ngomong bentar, boleh nggak, Ri? Mumpung belum bel masuk,” lanjutnya lagi, kembali menatapku.

Aku melirik Iran sejenak, tapi sobatku itu malah mengangkat bahu. Sebelum ia memasuki kelas, Iran sengaja mengeraskan sedikit suaranya, “Eh Va, jangan sampe lo telat masuk ya kalo bel udah bunyi.”

Setelah itu Iran meninggalkanku berdua dengan Kak Aris di depan pintu kelas. Sedikit canggung, aku mengajak Kak Aris sedikit menyingkir dari kelas.

“Kenapa, Kak?” tanyaku heran.

Kak Aris diam sejenak sebelum mulai bertanya, “Ri, kamu hindarin aku ya?”

Pertanyaan skakmat. Aku tidak tahu harus menjawab apa.

“Maksudnya?”

“Ya kamu pasti ngerti, beberapa hari ini kamu kayak menghindar dari aku. Apa aku ada salah sama kamu, Ri?”

Kak Aris mencoba menatap mataku, tapi aku berusaha tidak balas menatapnya. Duh, kenapa dia tau sih? Trus aku harus gimana? Yang bikin aku menghindar kan Geo dan Lita, ditambah Iran, walaupun aku juga sedikit setuju. Hanya saja, Kak Aris begitu baik padaku. Masa hanya karena alasan Kak Aris suka berantem jadi aku menghindarinya? Argh, pusing deh!

“Ri?” panggil Kak Aris lagi.

“Oh... ngg.... gak kok, aku gak hindarin Kak Aris,” jawabku salting. Terbaca nggak ya? Apa wajahku udah merah sekarang?

“Tapi?”

“Apanya yang tapi?”

“Tapi kenapa setiap aku mau ngomong atau deketin kamu, kamu kayak menjauh gitu, Ri?” tanya Kak Aris lagi, “Apa kamu.......”

TENG....TENG....TENG....

Demi apa, terima kasih untuk bel yang berbunyi tepat waktu. Aku buru-buru pamit pada Kak Aris dengan alasan bel masuk sudah berbunyi, kemudian aku ngacir masuk ke dalam kelas. Terserah deh Kak Aris masih berdiri di situ atau masuk ke kelasnya. Aku segera menurunkan bangkuku dari meja dan duduk dengan nafas tersengal-sengal.

“Kenapa lo, Va?” tanya Iran heran melihat tingkahku.

Aku hanya menggeleng-geleng. “Pusing gue!”

“Dia ngomongin apa aja ke elo?”

Aku mengembuskan nafas sejenak. “Jadi Kak Aris nanya kenapa gue kayak ngejauh dari dia, gitu. Gue gak tau mau jawab apaan. Untung aja udah keburu bel.”

“Bilang aja kalo dia itu preman, suka berantem, jadi lo gak suka.”

Aku memandang Iran. “Ya gak segampang itu lah, Ran.”

“Kenapa?”

“Ya walaupun Kak Aris preman, atau suka berantem, tapi kan dia baik ke gue, gak pernah jahatin gue. Jadi gue juga gak tega kalo tiba-tiba menjauh kayak gini. Serba salah gue.”

“Iya Va, dia emang baik ke lo, tapi karena dia ada maunya. Coba lo pikir, kalo emang dia baik, dia bakal baik ke semua orang, gak cuman ke lo aja. Dia bakal baik ke siapapun, gak bakal suka berantem. Yaaah, walaupun dia berantem gak di depan lo, atau lo gak liat secara langsung kalo dia berantem, tapi lo bisa liat kan bekas pukulan di wajahnya tadi?”

Aku terdiam mendengar kata-kata Iran. Emang gampang ya kalo mau menskak orang, tapi giliran mencari pembelaan malah susah. Aku mengakui kata-kata Iran memang masuk akal. Tapi entah kenapa aku jadi merasa bersalah juga karena sengaja menjauhi Kak Aris. Walaupun dia bermasalah dengan orang lain, tapi kan dia nggak punya masalah denganku? Argh, kok ribet gini sih? Padahal aku dan Kak Aris hanya berteman biasa, tapi rasanya semua orang tidak setuju dengan pertemanan kami.

***

Cinta Datang TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang