49

659 20 0
                                    

Aku sedang bersiap-siap dijemput Kak Aris ketika mama masuk ke kamarku dan bertanya, “Pagi-pagi udah rapi aja. Mau ngedate sama cowok ganteng ya Sayang?”

Aku mengerutkan dahi, “Ha? Kok ngedate sih Ma? Cuma jalan-jalan biasa kok. Tapi.... bukan sama Kak Ian.”

“Jadi sama siapa? Iran?” tanya mama lagi.

Aku menggeleng. “Kak Aris.”

Kali ini mama yang mengerutkan dahi. “Aris yang preman itu?”

Aku mengangguk, walau kesannya kok negatif banget ya disebut preman? Tapi kan papa dulu juga seorang preman, tapi sekarang baik-baik saja. Nggak pernah aneh-aneh.

“Sayang, kamu yakin mau jalan-jalan sama dia?” tanya mama sedikit khawatir.

“Kenapa Ma? Dia udah kenal sama Papa kok. Lagian kami cuma teman, mama nggak usah khawatir.”

“Iya, teman kan bagimu. Gimana kalo dia naksir sama kamu, Sayang? Anak mama kan cantik, siapa yang nggak tertarik, coba? Mama sih lebih milih cowok ganteng ya untuk jadi menantu mama.”

Aku sedikit bergidik. Apa mama bilang? Menantu? Umurku masih 16 tahun, masih jauh menuju pernikahan. Aku agak geli membayangkannya. Ih, mama ada-ada aja deh.

“Emang kalian mau jalan-jalan ke mana?” tanya mama kepo.

“Katanya sih Kak Aris mau ngajak ke taman burung gitu,” jawabku sambil memandang kembali wajahku di cermin. Aku tidak berdandan, hanya sedikit memoles bedak tipis dan lipbalm agar lebih fresh dan natural.

“Hmm yaudah tapi hati-hati ya, tetap jaga diri. Duh, kalo papa kamu dulu bukan preman, mama sekarang udah panik begitu tau kamu mau jalan sama preman sekolah,” ujar mama masih kurang ikhlas aku akan menghabiskan hari minggu bersama Kak Aris.

Aku hanya tersenyum sejenak dan mengangguk. Bersamaan dengan itu terdengar suara salam dari luar, “Assalamu alaikum.”

“Kayaknya Kak Aris udah datang tuh Ma,” kataku, “Keluar yuk.”

Aku mengajak mama menuju ruang tamu, dan benar, Kak Aris sudah datang. Penampilannya simpel saja, baju kaos warna hitam dan celana jins biru.

Kak Aris tersenyum pada mama. “Selamat pagi Tante.”

Mama tersenyum, walau kutahu senyumannya tidak sesumringah jika Kak Ian yang datang berkunjung.

“Pagi juga. Tante titip Riva ya, jangan sampai kenapa-kenapa loh.”

Kak Aris menyalami mama sambil tersenyum lebar, “Siap, Tante. Kalo sama aku, Ri ini aman luar dalam.”

“Bener yaa... Tante titip Riva. Kalian kalo mau jalan-jalan seputaran mall aja, lebih aman, jangan jauh-jauh. Mau nonton bisa, makan bisa, belanja bisa......”

“Ma, kami berangkat dulu ya, assalamu alaikum,” aku memutuskan segera pamit sebelum mama berceramah panjang lebar. Aku jadi tidak enak pada Kak Aris. Kesannya dia dicurigai oleh mama. Duh...

“Waalaikum salam.”

“Assalamu alaikum, Tante.”

“Waalaikum salam. Ingat pesan Tante yaaa....”

Aku memberi isyarat pada Kak Aris agar segera mengikutiku keluar rumah. Dan setelah motor sudah beranjak menjauhi rumah, barulah aku bernafas lega.

“Haduh......”

“Kenapa? Grogi?” tanya Kak Aris menyengir dari balik spion.

“Siapa yang grogi? Kak Aris tadi gak denger petuah-petuahnya mamaku?” sahutku setengah mencibir.

Kak Aris tergelak. “Denger. Trus kenapa?”

“Kak Aris emangnya gak tersinggung dibilang kayak gitu? Kesannya kan Kak Aris ini kayak apaaa gitu, disuruh jaga aku baik-baik.”

“Ya aku preman sekolah, trus kenapa? Emangnya preman kayak aku gak bisa jaga kamu?”

Aku menepuk jidat. “Justru mama takutnya Kak Aris lah yang ngapa-ngapain aku. Preman kan identik dengan penjahat.”

Ups.... sesaat aku lantas menyesal mengucapkan kalimatku barusan. Duh, Kak Aris bisa beneran tersinggung nih. Tapi kulihat dia masih menyengir.

“Sekarang aku tanya, papa kamu preman gak?”

“Iya, tapi dulu.”

“Dulu beliau jadi preman, apa beliau jadi penjahat juga?”

“Ya enggak lah.”

“Yaudah..... aku juga gitu. Aku preman tapi aku bukan penjahat. Ri paham kan?”

Aku menghela nafas, dan mengiyakan. “Sori deh Kak, kan bukan aku yang mikir gitu. Mama cuma khawatir aja.”

Kak Aris tersenyum perlahan. Ia berupaya mencari tatapanku dari balik spion.

“Apa sih liat-liat?” tanyaku risih, sekaligus agak salting. Aku menghindari menatap kaca spion.

“Siapa yang liat kamu, coba? Aku kan lagi ngaca. Gimana? Aku udah keren kan?” akhirnya Kak Aris menoleh ke belakang, ke arahku.

“Narsis... awas nabrak! Hadap depan sana, Kak!” perintahku.

Kak Aris hanya tertawa kemudian kembali mengalihkan perhatian ke jalanan di depan, sedangkan aku bernafas lega karena dia tidak sempat melihat perubahan warna wajahku. Fiuh.....

***

Cinta Datang TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang