47

644 26 0
                                    

Aku keluar dari ruangan dengan ekspresi yang entah bagaimana. Selama kurang lebih 1 jam aku berkutat dengan soal-soal olimpiade yang menegangkan. Enak sih enak mengerjakannya, tapi kan aku perlu waktu untuk menganalisa soal cerita. Jadinya kebawa tegang. Setidaknya di luar kelas aku bisa bernafas lega.

“Hei, Va, udah selesai?”

Aku lumayan terkejut begitu Kak Ian menyapaku. “Kak Ian juga?”

Kak Ian mengangguk. Ia mengajakku duduk di sampingnya. Aku menurut.

“Gimana?”

“Aduh.... kejar-kejaran sama waktu deh Kak, padahal aku bisa sih, cuman ya itu, mesti cepet. Jadinya tegang sepanjang waktu,” keluhku.

Kak Ian hanya tersenyum. “Wajar, baru pertama kalinya ikut olimpiade. Nanti juga terbiasa kok.”

“Kak Ian gimana? Kok cepet banget selesainya?”

“Iya dong, aku malah gak betah lama-lama di dalam kelas. Mati gaya. Hehehe...”

Aku hanya mengangguk menyengir.

“Iran udah selesai apa belum?” tanya Kak Ian lagi.

“Gak tau nih Kak, belom ada batang hidungnya yang muncul. Kita tunggu aja,” kataku, “Eh, aku aja deh yang nunggu. Siapa tau Kak Ian ada urusan lain.”

Kak Ian menggeleng sejenak. “Gak ada. Kamu mau ke kantin gak, Va? Sambil nungguin Iran. Nanti sms aja Iran kalo kita lagi di kantin, siapa tau dia nyari kamu.”

Aku baru akan menyahut ketika kulihat Iran setengah berlari menuju ke arah kami. Dia tampak tersenyum lebar. Senang banget kayaknya.

“Rivaaaaaa........” serunya senang.

“Gimana? Gimana?” tanyaku antusias.

“Gue duduk di samping Kak Imran tadi.....! Omaigad! Kebayang gak?” Iran masih dengan euforia senangnya, nggak sadar kalau ada Kak Ian di dekatku yang juga mendengar kata-katanya barusan.

“Kamu naksir Imran ya?” tanya Kak Ian, membuat Iran mendadak malu dan rasanya ingin kabur tapi sudah terlanjur ketahuan.

“Hehehe, jujur aja, Ran, siapa sih yang gak suka Imran? Senior baik hati yang gak cuman cakep tapi juga pintar,” goda Kak Ian.

“Ih.... Kak Ian jangan berisik dong! Kan gue malu...” Iran merengut sambil menoleh sekeliling.

Untung saja tidak ada yang mendengar obrolan mereka.
Aku dan Kak Ian hanya tertawa, membuat Iran makin malu.

“Udah ah, jangan dibahas lagi. Muka gue kayaknya udah merah nih saking malunya.”

“Eh, tadi Kak Ian ngajak ke kantin. Ran, ke kantin juga yuk!” ajakku mengalihkan pembicaraan.

Iran mengangguk sejenak. “Kebetulan gue juga laper.”

***

Cinta Datang TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang