Untuk merayakan berdamainya kembali aku dan Iran, hari ini kami jajan di kantin sambil mentraktir Lita dan Icha. Kedua cewek itu terheran-heran melihatku dan Iran yang heboh terus dari tadi, tapi begitu tahu mereka akan ditraktir, keduanya ikutan heboh.
“Udah gue duga! Ini pasti traktiran karena kalian lulus olimpiade.. Asik!” seru Lita sambil melahap sosis di hadapannya.
Sejenak aku dan Iran melongo, tapi kemudian mengiyakan saja. Anggap saja traktiran olimpiade, bukan traktiran karena kemarin abis marahan dan sekarang udah baikan. Lagipula mereka nggak perlu diberitahu deh kalo aku dan Iran habis marahan. Bisa malu jadinya. Aku bahkan lupa permintaan Lita kemarin yang minta ditraktir. Lagipula sejak dari tadi pagi mereka tidak menagihnya.
“Padahal sih gue berharapnya kalian traktir kita karena ada yang udah jadian.... hihihi!” sambung Icha memberiku tatapan menggoda.
Dasar tukang gosip. Siapa juga yang udah jadian?
“Fitnah lebih kejam daripada nggak fitnah, tau?” sahutku mencibir.
Icha lagi-lagi menggoda. “Udah sih Va, sama Kak Ian aja napa? Kurang apa coba? Mantan ketua panitia MOS, anak basket, manis, punya lesung pipi, dan kayaknya dia juga suka tuh sama lo, Va. Cuman belum diungkapin aja...”
“Iya... lo gausah sama siapa tuh, kakak lo dulu? Yang anak PMR itu?” tanya Lita.
“Kak Andra,” malah Iran yang menjawab.
“Kak Andra apa Kak Imran?” tanya Lita lagi.
“Heh sembarangan, Kak Imran itu kakak gue!” seru Iran cepat, nggak rela Kak Imran dicap sebagai kakakku. Aku spontan ngakak melihat reaksi Iran.
“Iyeee Kak Andra deeeh....” seru Lita mencoba menghentikan kepanikan Iran, tapi aku juga harus menghentikan Lita yang mirip berteriak. Mampus deh kalo ada yang dengar obrolan kami. Sumpah, memalukan banget pastinya. Aku melihat sekeliling. Untung saja semua sibuk mengobrol masing-masing.
“Aww!” Lita berseru karena kucubit.
“Jangan berisik dong, apalagi nyebut nama. Bahaya nih tempat umum!” ujarku sewot.
Lita masih meringis, meminta agar aku menyingkirkan tangan dari lengannya.
“Gila lo, Va, tukang cubit nomor satu!” keluhnya meratapi lengannya.
Aku hanya terkekeh sambil meminta maaf, tapi kembali memasang tampang sewot.
“Makanya jangan berisik. Gausah sebut nama sih.”
“Iyaaa... iyaaa.... pokoknya kakak lo yang itu deh!” Lita mencibir, diiringi gelak tawa Iran dan Icha, lalu kembali melanjutkan, “Gue sih lebih excited yaa kalo Kak Ian sama lo dibanding kakak lo itu, Va.”
Aku mencibir sejenak. Emang enak ya menjodoh-jodohkan orang, padahal orang yang dijodohkan itu belum tentu mau. Eh... tapi... apa benar aku sama sekali tidak tertarik pada Kak Ian?
Iran menyikut lenganku perlahan. “Udah, ditampung dulu masukan-masukannya. Jangan langsung bilang nggak alias ditolak. Nyesel baru tau rasa.”
Aku menghela nafas. Mampus deh, satu lawan tiga.
“Iyaaa... tengkyu deh! Masukannya berfaedah banget, puas?”
Iran, Lita, dan Icha hanya cekikikan.
“Yaudah yaudah, makan yok. Kasian nih sobat gue satu ini, udah merah mukanya,” Iran ngakak sambil merangkulku.
Aku menjulurkan lidah. Habis bully terbitlah pembelaan. Tahu-tahu ponselku berbunyi sejenak. Sebuah sms.
Udah baikan ya? :)
Aku refleks mendongak dan mengedarkan pandangan sekeliling. Seseorang terlihat menatapku sambil mengacungkan jempolnya sejenak. Aku tersenyum perlahan dan mengangguk.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Datang Terlambat
Teen FictionAku ingin menunjukkan padamu, bahwa dalam setiap kisah cinta, tak selalu berakhir seperti yang diharapkan. Karena aku, satu di antara yang tak beruntung itu. #1 in ekskul (16/06/2019) #6 in watty2019 (22/07/2019) #21 in fiction (25/07/2019)