Aku baru saja meletakkan tas di bangku, ketika Iran langsung membombardirku dengan rentetan pertanyaan kepo. Sudah kuduga, pagi ini Iran akan rese, mencecarku dengan segudang pertanyaan yang nggak ada habisnya.
“Kok bisa sih Va, lo jalan sama cowok kayak gitu?”
“Va, kalian cuman temenan aja kan?”
“Kalian ke mana aja seharian kemarin?”
“Jadi Kak Ian lo kemanain?”
“Aduh Va, lo kesambet apa sih?”
Aku menghela nafas mendengar pertanyaan-pertanyaan Iran yang bahkan belum kujawab satu pun.
“Gue gak kesambet apa-apa, lagian gue cuman jalan biasa sama Kak Aris kok,” jawabku cuek, “Lagian gue kan gak jadian ama Kak Ian, kok lo bilang gue kemanain Kak Ian?”
“Iiiiih, Va, cowok gak jelas kayak dia itu mencurigakan. Liat gayanya, mirip Kak Andra, lebih premanan lagi, slengean banget. Ih.... jangan-jangan dia make juga tuh,” ujar Iran nggak terima.
“Huss... kok malah nuduh dia itu make? Juga? Emang Kak Andra positif make, sampe bilang Kak Aris make juga?”
“Yeee... waspada Va, orang yang gayanya bener aja banyak yang ternyata pecandu narkoba, coba lo liat beberapa artis, gayanya bagus kan? Tapi ternyata jadi pecandu. Apalagi kayak dia, yang jelas-jelas gayanya nggak banget deh!”
Aku mendecak-decakkan lidah. “Ran, jangan nuduh orang sembarangan deh. Kak Aris orangnya gak sejahat itu. Coba lo jalan bareng dia, pasti lo juga yakin dia orang baik,” ujarku.
“Jalan bareng? Ogah..... mending jalan bareng Kak Imran, hahaha.”
Aku menyengir sejenak. Iya deh iya, semua hal mendingan Kak Imran bagi Iran. Aku mengangkat bahu.
“Intinya Ran, kita gak bisa nilai orang dari penampilannya aja. Ya kan?”
Iran menghela nafas. “Va, gue cuman gak mau lo bergaul dengan orang yang salah. Udah ada Kak Ian, ngapain lagi bareng Kak Aris?”
Aku memandang Iran sejenak. Kenapa semuanya harus disangkutpautkan dengan Kak Ian?
“Ran, gue tau lo memihak Kak Ian, tapi lo juga harus ingat, kami cuman berteman. Dan gue bukan orang yang pilah-pilih teman. Gue berteman sama Kak Ian, gue berteman sama Kak Aris, dan gue gak kenapa-kenapa. Buktinya gue baik-baik aja kan? Lagian Ran, Kak Aris itu udah beberapa kali datang ke rumah, kenalan sama papa dan mama juga.”
Iran mengangkat bahu. “Gue cuman gak suka aja sama orang macam dia. Belagu jadi senior. Gak jelas. Lo inget kan waktu pertama kita ke kelasnya?”
“Itu kan waktu pertama kali, Ran. Lo inget waktu gue sakit pas latihan kerja soal olimpiade? Dia yang bawa gue pulang. Itu salah satu bukti kalo Kak Aris itu bukan orang jahat. Lagian gue seharian sama dia kemarin juga gak kenapa-napa, gue aman, gue baik-baik aja. Malah gue dianter pulang lagi, ketemu sama papa, sama mama, gak macam-macam.”
Iran terdiam sejenak. Ia kembali mengangkat bahu. Sebelum beranjak dari bangkunya menuju keluar kelas, Iran menatapku.
“Sesenangnya lo aja deh, Va, bergaul ama siapa. Mau sama Andra, mau sama Aris, itu hak lo.”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Datang Terlambat
Teen FictionAku ingin menunjukkan padamu, bahwa dalam setiap kisah cinta, tak selalu berakhir seperti yang diharapkan. Karena aku, satu di antara yang tak beruntung itu. #1 in ekskul (16/06/2019) #6 in watty2019 (22/07/2019) #21 in fiction (25/07/2019)