50

745 21 0
                                    

Taman burung sudah buka pagi ini. Baru beberapa pengunjung yang terlihat, termasuk aku dan Kak Aris. Selain burung-burung, ada juga beraneka hewan lain yang sudah mulai agak langka, seperti beberapa jenis ikan, biawak, ular, kura-kura besar, sampai gajah juga ada. Sudah lama sekali aku tidak ke sini, bahkan sekarang jenis hewannya bertambah. Ada hewan semacam angsa tapi bentuknya sedikit berbeda, dan kadal.

“Wah sekarang lebih rame lagi hewannya ya Kak,” ujarku kagum.

Aku memandang dua orang anak kecil, sepertinya bersaudara, yang begitu gembira memberi makan kura-kura.

“Belanja makanan dulu yok di sana. Biar kamu juga bisa ngasih makan hewannya kalo mau,” ujar Kak Aris mengajakku ke gerai makanan hewan. Aku mengikutinya. Seorang karyawan menawarkan satu paket makanan lengkap.

“Daun-daun ini untuk kadal, trus jangkrik ini nanti di kandang burung.. yang biji-bijian ini buat kura-kura, trus ini buat ikan,” ujar karyawan itu menjelaskan, “Mau foto sama burung hantu sekalian mbak? Kuponnya cuma sepuluh ribu aja. Foto bareng ular juga bisa.”

Aku terbelalak. Yang benar saja, masa foto bareng ular? Ih, serem. Aku menggeleng, tapi Kak Aris justru membeli kupon itu. Ia kemudian mengajakku ke tiap-tiap stand hewan. Pertama-tama kami memberi makan ikan-ikan, kemudian kura-kura. Setelah itu Mas Aris mengajakku ke stand kadal.

“Lucu juga ya kadalnya,” aku menunjuk beberapa kadal yang terlihat memanjat tubuh kawannya.

“Aku foto dulu deh,” aku mengambil ponsel dan menjepret sekumpulan kadal itu beberapa kali.

“Ngapain foto dari luar? Masuk yok...” Kak Aris meraih tanganku dan bergegas membuka pintu stand. Di dalamnya ada seorang karyawan yang sedang memberi makan kadal-kadal.

“Aduh, geli. Aku dari luar aja deh, nanti digigit,” bisikku.

Tapi Kak Aris tetap menahan tanganku. “Apa gunanya daun-daunnya kalo gak dikasih ke kadalnya? Yokk.....”

“Dari luar aja deh Kak, kan bisa.”

“Silakan masuk, Mbak, Mas kalo mau ngasih makan kadal,” karyawan itu malah menyuruh kami masuk.

Aduh, aku jadi merinding. Jangan sampai digigit deh. Aku berjalan di belakang Kak Aris. Ia justru menyengir lebar.

“Takut nih yeee.....” ledeknya. “Sini Ri, jongkok. Pegang daunnya kayak gini,” Kak Aris menunjukkan cara memberi makan kadal-kadal itu. Serentak para kadal mulai berdatangan untuk menyambut daun di tangan Kak Aris.

“Ayok.... inget, pegang daunnya, jangan dilempar.”

Aku memegang daun itu di pangkalnya, sejauh mungkin dari ujung daun, agar kadal itu tidak menggigit tanganku.

“Mendekat dong, Ri, cara pegangnya.. Dijulurkan ke kadalnya dong,” Kak Aris menarik tanganku dan mendekatkannya ke arah kadal. Aku ingin melepasnya tapi tanganku malah ditahan.

“Aduh, geli Kak, sumpah... takut digigit!” seruku.

Tetap saja, tanganku ditahannya, dan segera saja para kadal mendatangiku. Aku menutup mata, berasa ngeri, tapi kemudian kubuka dan kulihat kadal itu menelan daun di tanganku dengan caranya yang unik. Lucu.

“Eh, liat Kak, lucu yaa cara makannya,” aku menunjuk kadal itu.

“Tadi ada yang ketakutan, sekarang udah enggak ya?” ledek Kak Aris lagi sambil tertawa, tapi kemudian diberikannya padaku kotak berisi daun-daun. “Nih, kasih lagi.”

Aku menerimanya dan mulai memberanikan diri menjulurkan daun itu pada kadal yang lain. Aku terkekeh menyaksikan aksi mereka, sampai memanjat tubuh kawannya demi meraih daun, tapi sayangnya gagal mendapat jatah daun.

Cinta Datang TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang