76

278 10 0
                                    

Aku masuk ke kelas diikuti oleh Dedy dan Iran yang sedari tadi men-ciecie-kan aku dan Kak Ian. Rese banget sih dua orang ini. Sumpah bikin malu banget. Aku berusaha menunjukkan ekspresi tenang sambil menurunkan bangkuku dari atas meja.

“Ada apa sih? Kok heboh banget?” tanya Icha kepo.

Aku hanya mengangkat bahu, sementara Dedy malah menjawab, “Kudet banget sih lo, Cha! Noh temen lo baru aja taken!”

Aku langsung melirik Dedy tajam, “Oh gitu, jadi gue bukan temen lo ya Ded?”

Dedy bukannya merasa bersalah malah ngakak, “Ecieeee jadi lo ngaku kan baru aja taken!”

“Ishh apaan sih?” Aku merengut.

Asem banget sih nih Dedy, kayak nggak pernah liat orang jadian aja. Sudah bisa kuduga Icha pun ikut-ikutan heboh. Ia malah menghampiriku lalu merangkul bahuku.

“Ihiww selamat yaa Beb! Makan-makan dong!”

“Eh gue ikut!” seru Dedy mendekat.

“Gue nih orang nomer satu yang punya andil ya dalam hubungan kalian,” lanjutnya lagi dengan bangganya.

Aku menatap Dedy dengan alis berkerut, “Andil apaan lo?”

“Eh lo lupa ya, gimana prosesnya lo bisa temenan sama Ian? Awalnya kan kalian musuhan. Coba kalo gue gak ngasih alamat lo waktu itu, mungkin Ian gak datang ke rumah lo buat minta maaf.”

Ah ya, aku lupa waktu itu belum mengomeli Dedy soal kelancangannya memberikan alamat rumahku pada Kak Ian. Cowok tengil itu malah mesem-mesem meledekku.

“Udahlah Va, makan-makan aja napa? Ya gak Ded, Ran?” Icha memutuskan sepihak.

“Yoiiii gue demen banget nih kalo soal ginian,” Iran mengangguk setuju.

“Gue ikut pokoknya,” Dedy buru-buru menimpali.

Aku mencibir.

“Gue sih terserah ya, yang penting bukan gue yang bayar,” sahutku menjulurkan lidah. “Sana minta ama Kak Ian, itu juga kalo dia mau.”

“Okeeeh, siapa takut!”

Emang Dedy orangnya rese banget. Tapi aku tidak peduli. Bel masuk sudah berbunyi. Semua lantas kembali ke bangku masing-masing. Untung saja Dedy sudah berhenti merecokiku. Kulihat ia mengobrol dengan teman sebangkunya. Aku menoleh ke belakang, bangku Lita masih kosong.

“Lita ke mana, Cha?” tanyaku.

“Dia izin gak masuk hari ini. Katanya lagi gak enak badan.”

“Yaaah, masa makan-makan gak ada Lita? Gak solid nih kalian. Makan-makannya gak jadi aja ya kalo gitu,” aku mendapat ide untuk batal traktiran.

“Enak aja! Gak mauuu. Pokoknya istirahat bentar kita makan-makan. Lo ama Kak Ian yang traktir!” sahut Icha nggak mau kalah.

“Gini aja deh Va,” Iran memberi masukan, “Kalo lo traktir kita-kita, kita janji deh gak bakal ngeledek lo sama Kak Ian. Gimana?”

“Nah, setuju!” seru Icha.

Aku melirik mereka berdua bergantian. “Hmmm kayaknya boleh juga. Tapi jangan cuman kalian. Si Dedy juga tuh, kasih tau ke dia jangan ngeledek gue lagi. Janji ya?”

“Okeee! DEAL!”

Iran buru-buru menyalamiku. Icha juga. Aku hanya menyambut uluran tangan mereka sambil memasang tampang pura-pura nggak ikhlas. Setelah itu aku dan Iran kembali menghadap ke depan, mengobrol berdua sambil menunggu guru.

“Eh Va, lo tau gak tadi waktu lo jalan ama Kak Ian sambil pegangan tangan?” bisik Iran.

Aku menatapnya sejenak. Kupikir Iran akan meledekku lagi tapi ekspresinya tidak menunjukkan demikian. Akhirnya aku menggeleng.

“Nggak. Kenapa?”

“Jadi tadi gue liat Kak Andra sempat liatin lo jalan ama Kak Ian. Apalagi waktu Dedy juga datang dan cie-ciein lo berdua,” ujar Iran melapor.

Aku diam saja, tidak tau mau berkata apa soal Kak Andra.

“Gimana pendapat lo?” tanya Iran kemudian, melihatku tidak berkomentar.

“Pendapat apa?”

“Ya pendapat lo tentang Kak Andra yang liatin lo ama Kak Ian.”

Aku mengangkat bahu. “Gak tau deh. No komen aja gue.”

“Halah, sok artis banget lo pake no komen. Eh tapi Va, yaudah sih biarin aja. Lagian lo kan udah jadian ama Kak Ian. Mending lo fokus ama Kak Ian aja. Oke?” Iran menepuk bahuku sambil tersenyum.

Aku lagi-lagi hanya mengangkat bahu.

***

Cinta Datang TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang