Pelajaran Seni Budaya berakhir lima menit lagi, tapi kulihat Kak Ian sudah berdiri di depan kelas. Tadi ia mengajakku pulang bareng, dan aku hanya mengiyakan saja.
Dedy berbisik dari seberang bangkunya, “Woy Va, udah jadian belom?”
Ish, apaan sih nih Dedy, bikin malu aja kalo kedengeran teman-teman sekelas. Untung semua masih sibuk mencatat, kecuali Lita dan Icha, yang tentu saja mendengarnya karena Dedy tepat berada di seberang Lita. Malessss deh menanggapi. Tapi aku mendadak sedih juga. Biasanya kalo kayak gini, Iran segera ikut menggodaku. Tapi ia terus menulis seolah tidak mendengar omongan Dedy, padahal aku yakin pasti dia mendengarnya.
Iran godain gue dong, gapapa, kali ini gue gak bakal marah kok. Yang penting lo ngomong sama gue, menyapa gue....
Huft!
Saat bel pulang berbunyi dan benar-benar menandakan waktu pulang, aku baru saja akan membereskan buku ketika kulirik dari ujung mataku, Iran membereskan buku-bukunya dengan sangat cepat, seolah tidak ingin berbarengan denganku keluar dari kelas. Benar saja, begitu Bu Tania keluar dari kelas, Iran pun menyusul.
“Buset.... tumben tuh anak lincah banget ngeloyornya,” kudengar Icha berseru.
Aku pura-pura tidak mendengar dan hanya sibuk dengan alat tulisku.
“Eh Va, denger-denger lo lolos olimpiade. Ciee selamat yaaa....” Lita menghampiriku dan menghujaniku dengan cipika-cipiki.
“Kok tau?” tanyaku sambil tersenyum.
“Tau dong... Iran yang bilang,” jawabnya melepasku, lalu menyengir sejenak tanpa menyadari perubahanku yang mendadak diam.
“Woy Lit, jangan lama-lama meluk cewek orang. Udah ditunggu dari tadi kelesss!” seru Dedy terkekeh, dan aku memberinya tatapan capek deh! Tapi Dedy bener juga, kasian Kak Ian kelamaan menunggu sementara aku malah mengobrol ria dengan Lita dan Icha.
“Ihiww.... ati-ati Va... jangan lupa traktiran olimpiadenya besok!”
Aku tidak menoleh lagi dan segera menghampiri Kak Ian yang sempat membalas senyum beberapa teman sekelasku yang melintas. Duh, jadi malu juga sih begitu teman-teman melirikku dengan tampang menggoda. Jangan-jangan mereka juga mengira aku dan Kak Ian memang pacaran.
“Sori Kak,” seruku pelan. “Pulang sekarang?”
“Va, kamu gak mau pulang bareng Iran?” tawar Kak Ian perlahan.
Aku mengernyitkan alis. Iran kan sudah pulang duluan.
“Dia masih di kelasnya Imran kok, tadi aku sempat nyapa dia, dan katanya mau ke kelasnya Imran,” jawab Kak Ian seolah membaca pikiranku.
Aku menggumam ragu. Memangnya Iran mau pulang bareng denganku, seperti kemarin-kemarin?
“Dicoba aja dulu, Va,” sahut Kak Ian lagi, “Sori Va, bukannya aku gak mau pulang bareng padahal tadi aku yang ngajak, tapi siapa tau kalian bisa baikan kalo pulang bareng.”
Yaaah, aku tau niat Kak Ian baik. Aku mengangguk setuju, dan berjalan bersama Kak Ian menuju kelas Kak Imran. Saat di koridor aku berpapasan dengan Kak Aris. Duh.... Entah kenapa, ia seperti tidak suka melihatku bersama Kak Ian. Ia bahkan tidak menyapaku. Tapi pikiranku segera teralihkan begitu kami sudah mendekati kelas Kak Imran.
“Bentar ya Va, aku tanya ke Imran dulu,” ujar Kak Ian sejenak, lalu masuk ke dalam kelas itu.
Aku menunggu di depan kelas dan berusaha agar tidak terlihat Iran lebih dahulu. Beberapa saat kemudian Kak Ian keluar lagi dan mengajakku sedikit menjauh dari situ.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Datang Terlambat
Teen FictionAku ingin menunjukkan padamu, bahwa dalam setiap kisah cinta, tak selalu berakhir seperti yang diharapkan. Karena aku, satu di antara yang tak beruntung itu. #1 in ekskul (16/06/2019) #6 in watty2019 (22/07/2019) #21 in fiction (25/07/2019)