Bimbel lagi, lagi-lagi bimbel. Aku semangat untuk bimbel sih, hanya saja detik-detik menjelang makan siang di kantin sebelum bimbel sedikit membuatku galau. Kira-kira di hari ketiga ini aku akan bertemu lagi dengan Kak Andra gak ya? Bareng ceweknya gak ya? Huft, merusak mood aja, bener-bener!
Aku duduk sejenak di depan kelas mengamati seisi sekolahan yang berhamburan menuju gerbang sekolah, meskipun beberapa di antaranya juga ada yang tidak langsung pulang sepertiku karena harus bimbel atau mengikuti kegiatan ekskul masing-masing. Tapi memang sebagian besar mereka memilih pulang.
Aku tersenyum membalas sapaan teman-teman kelas sebelah yang kebetulan melewatiku dan menyapaku sejenak. Kemudian aku mulai memasang earphone di kedua telingaku, sambil memainkan ponsel secara tidak jelas. Tiba-tiba tanpa kusadari Kak Ian sudah duduk di sampingku sambil memindahkan earphone sebelah kananku ke telinga sebelah kanannya. Aku spontan menoleh. Kak Ian menyengir sambil ikut menikmati musik yang sedang kudengar.
“Lagu siapa, Va?” tanyanya.
“Westlife, Kak.”
“Lagu lama,” komentarnya.
Aku mengangguk.
“Kata Mama, kemarin kamu ke rumah?” tanya Kak Ian.
Aku mengangguk lagi.
“Kok gak bilang, Va? Biar aku ikut juga,” lanjutnya.
Aku tersenyum pelan. Aku kan lagi galau kemarin, mana mungkin mengajak Kak Ian. Sebuah bola basket tiba-tiba terlempar ke arah kami, membuatku kaget dan cepat-cepat melepas earphone di telinga kiriku, kemudian berdiri. Dedy berlari menjemput bola sambil tertawa-tawa.
“Eh Va, siang-siang panas gini malah pacaran,” ledeknya. Sialan nih Dedy! Udah memfitnah, meledek lagi.
Kak Ian malah melempar bola ke arah Dedy dan ditangkapnya dengan sigap.
“Ngomong jangan ngasal,” serunya.
“Aelah Mas brooo....” Dedy menyimpan bola di antara ketek dan lengannya, “Eh Va, pulang aja lo. Anak gadis jangan suka nongkrong di sekolahan, udah bubaran juga.”
“Gue bimbel kelesss,” seruku sewot. “Lo aja yang pulang.”
“Wetsss... galak bener sejak ama Kakaknya,” ledek Dedy lagi, ngakak.
Benar-benar ya, Dedy hanya membuatku malu. Mungkin wajahku sudah merah padam. Untung sekolahan sudah tampak sepi.
“Lo kenapa gak pulang, Bro?” tanya Kak Ian kepada Dedy. Cowok itu mendekat, kemudian mengambil alih tempat dudukku tadi.
“Motor gue taruh ke bengkel, ada masalah. Gue nungguin Aldo, pengen nebeng.”
“Oh....”
“Lo sendiri ngapain Mas Bro? Riva kan pengen bimbel, nah lo ngapain? Temenin pacarnya yaaa,” Dedy melirik-lirikku dengan ekspresi ingin kuterkam rasanya. Aku mencubitnya karena gemas sendiri.
“Pacar apa Ded?” tanyaku semakin mengencangkan cubitan.
“Adududuuh... sakit woy Va!”
“Ya makanya jawab dulu pacar siapa?” tanyaku menjulurkan lidah, menikmati melihat ekspresi wajah Dedy yang kesakitan.
“Mas Bro, lo kok mau sama yang model begini sih!” keluh Dedy berusaha melepas cubitanku.
Kak Ian malah tertawa. “Syukurin lo, Bro. Udah Va, kasian, lepasin.”
Aku akhirnya melepaskan tanganku dari lengan Dedy. Cowok berkulit putih itu meringis dan mengelus lengannya yang kemerahan karena ulahku.
“Wah, anjir lo Va, tukang cubit! Pantes aja trio kwek-kwek itu suka ngeluh kalo lo cubit!” keluh Dedy meratapi lengannya.
Aku hanya melipat tangan, tidak peduli. Siapa suruh meledekku terus-terusan?
“OYY!” teriak seorang cowok berambut plontos memanggil Dedy. Mungkin itu yang namanya Aldo, karena Dedy segera pamit kepada Kak Ian, juga padaku.
“Awas ya lo Va, gak bakal gue biarin lo berisik kalo upacara!” Dedy berkata sebelum benar-benar pergi dari hadapan. Kak Ian hanya tergelak melihatnya.
“Udah gak usah dibalas, dia emang suka usil,” kata Kak Ian.
Hah, benar banget! Dedy tukang usil yang rese. Sial, gara-gara dia, sekarang aku jadi canggung lagi terhadap Kak Ian. Dedy reseeee, kenapa bilang aku dan Kak Ian pacaran sih?
“Va, kenapa?” tegur Kak Ian mendapatiku berkomat-kamit tidak jelas.
“Eh, iya Kak?” responku sedikit kaget, “Gak papa, aku kayaknya ke kantin sekarang ya. Dah!”
Aku pamit, lupa kalau Kak Ian juga mau makan di kantin karena jadwal bimbel kami lagi-lagi sama. Dia cepat-cepat menyusul dan menyejajari langkahku.
“Obrolin apa aja sama Mama?” tanyanya.
“Oh-eh.. gak kok, cuman ngobrol tentang rajutan Tante Meva. Ternyata mamanya Kak Ian jago banget ya merajut.”
Kak Ian mengangguk bangga. “Banget, Va. Mama sering tuh ngerajut switer atau topi.”
“Oh, yang kayak kupluk gitu ya Kak?”
Kak Ian mengangguk mengiyakan.
“Kamu gak tertarik pengen merajut juga, Va?”
“Tertarik banget, Kak,” jawabku menyengir lebar, “Malah nanti aku janjian sama Tante kalo abis olimpiade mau belajar merajut.”
“Nanti aku ikut ya, Va.”
“Merajut juga?” tanyaku heran.
“Nemenin kamu dan Mama,” jawabnya sambil tersenyum manis. Aku mengangguk saja.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/65634495-288-k735943.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Datang Terlambat
Teen FictionAku ingin menunjukkan padamu, bahwa dalam setiap kisah cinta, tak selalu berakhir seperti yang diharapkan. Karena aku, satu di antara yang tak beruntung itu. #1 in ekskul (16/06/2019) #6 in watty2019 (22/07/2019) #21 in fiction (25/07/2019)