“Lo yakin, Va?” tanya Iran memastikan. Aku mengangguk.
“Gue sebelumnya minta maaf ya Ran, kalo gue memilih mundur dari PMR, dan lebih milih fokus ikut olimpiade.”
“Alasannya?”
“Yaaah, dalam suatu pilihan, akan ada satu yang harus diprioritaskan, dan yang satunya lagi dikorbankan biar hasilnya lebih maksimal. Mungkin gue bisa aja jalani dua-duanya, tapi pasti keduanya gak bakal maksimal. Gue ikut kegiatan PMR dan hasil olimpiade gue mungkin ga bakal maksimal, atau gue ikut olimpiade tapi gue ngerasa gak enak sama PMR karena gue abaikan kegiatannya. Jadi daripada ke depannya gue ribet sendiri, gue milih untuk fokus olimpiade saat ini,” aku menjelaskan alasanku.
Iran manggut-manggut. Ia tampak berpikir sejenak. “Tumben pemikiran lo cerdas, Va. Dapat ilham dari mana sih?”
“Tadi gue curhat sama Kak Ian.”
Mata Iran seketika berbinar. “Ahaaaa! Pantes ajaaaa....” ia tergelak.
Aku manyun sejenak. Bisa nggak sih dia nggak menggodaku kalau kami menyebut nama Kak Ian?
“Lo sendiri gimana, Ran?” tanyaku.
Iran senyum-senyum sebelum menjawab. “Tebak gue pilih apa?”
“Olimpiade? PMR? Dua-duanya?” tebakku.
“Kita samaaa! Gue pilih olimpiade!” seru Iran sedikit heboh. Lebay deh, lebay!
“Kok bisa? Bukannya lo yang paling idealis waktu ngungkapin alasan lo tertarik gabung PMR?” tanyaku heran.
“Ehem! Gue juga dapat masukan kelesss dari Kak Imran dan Kak Tama. Hahahaha.”
“Apa katanya?”
“Yaaah kurang lebih miriplah dari apa yang lo bilang tadi. Ketika kita memaksakan untuk menjalani keduanya tanpa manajemen waktu yang baik, maka kita gak bakal maksimal dalam hal keduanya. Bahkan bisa jadi apa yang kita jalani sia-sia. Kenapa?”
“Kenapa?”
“Ya itu dia, karena kita memaksakan. Kita pengen dua-duanya, padahal keduanya itu beda. Misalnya PMR, okelah mungkin kegiatannya gak terlalu padat, sedangkan olimpiade itu padat banget, bimbel lah, ikut tes lah, mungkin gak masalah kalo waktunya lagi gak bersamaan. Tapi kalo bentrok? Mau pilih mana? Kita dipercayakan sekolah untuk ikut olimpiade, mesti bimbel ekstra, sedangkan kegiatan PMR juga butuh kita, karena kita udah jadi anggota maka kita harus menunjukkan komitmen kita termasuk ikut kegiatan ini-itu. Makanya kita perlu manajemen waktu yang baik, dan mungkin gue masih belum bisa memanajemen dengan baik, perlu proses. Jadi itu kenapa gue milih salah satunya, dan mengorbankan salah satunya,” jelas Iran.
Aku terdiam sejenak. Tepat dengan yang dikatakan Kak Ian. Hasilnya tidak akan maksimal. Dan inilah keputusan yang kami berdua ambil pada akhirnya, memilih fokus olimpiade.
“Eh tapi Ran...” aku sedikit ragu.
“Apa?”
“Ngg... lo inget kan yang tempo hari kita berdebat sama Kak Andra soal komitmen kita ikut PMR?” tanyaku perlahan.
Iran mengangguk. “Inget!”
“Kalo kita berhenti, otomatis kita dicap nggak komitmen, padahal dulu kan kita ngotot kita komitmen. Gimana tuh?”
“Ya emang kita komitmen kok, kalo aja gak ikut olimpiade.”
“Jadi? Sekarang kita gak komitmen lagi dong,” ujarku bimbang.
“Hmm... gini ya Va, kalo gue nih ya, lakukan sesuatu itu dari hati lo, bukan karena lo pengen dapat pengakuan dari orang lain. Jangan komitmen kalo cuman pengen membuktikan pada akhirnya, lo bakal bilang sama orang-orang, Gimana? Gue emang komitmen kan? Komitmen gue terbukti kan? Padahal ke depannya lo jadi bimbang dan repot sendiri karena keputusan yang diambil. Contoh, okelah lo berhasil membuktikan lo komitmen jadi anak PMR, tapi kalo kasus yang kayak gini aja gimana? Udah lumayan pusing kan? Belum lagi kalo kegiatan PMR nya udah berjalan, mungkin untuk tetap membuktikan komitmen lo itu, lo hanya bakal mengikhlaskan olimpiade gak lulus karena lo harus ikut kegiatan ini-itu. Yang penting lo berhasil membuktikan komitmen pada PMR, yang lainnya jadi terabaikan. Gue gak sepakat dengan itu.”
Aku dan Iran sama-sama diam.
“Gimana? Paham gak dengan yang gue bilang?” tanya Iran.
“Dikit.”
“Yeeee.... udah panjang lebar juga gue ngomong,” Iran manyun.
Aku menyengir pelan. “Tapi gue bisa menangkap kok maksud omongan lo, Ran.”
“Oke, jadi? Gimana?”
“Gue tetep milih ikut olimpiade,” kataku mantap.
“Yeyy, gue juga! Oh ya, satu lagi, Va,” Iran mengacungkan telunjuknya.
“Apaan?”
“Kitalah yang memilih jalan kita, bukan jalan yang memilih kita untuk berjalan di atasnya. Itu gue ngutip kata-kata Kak Tama. Hehehehe....”
Aku mencibir. “Jadi sekarang beralih ke Kak Tama nih?”
“Iiiiih gak lah, gue tetep Kak Imran dong. Tapi kan quote Kak Tama tadi juga keren, dan gue sepakat.”
“Iyeee... gue juga kagum!”
“Jadi abis ini kita bimbel nih?” tanya Iran.
“Iya dong......” seruku.
“Okee cusss kantin!”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Datang Terlambat
Teen FictionAku ingin menunjukkan padamu, bahwa dalam setiap kisah cinta, tak selalu berakhir seperti yang diharapkan. Karena aku, satu di antara yang tak beruntung itu. #1 in ekskul (16/06/2019) #6 in watty2019 (22/07/2019) #21 in fiction (25/07/2019)