81

302 9 0
                                    

Aku melangkah ke dalam kelas dengan hati tak sabaran. Hari ini hari terakhir ujian. Akhirnyaaa.....

Setelah seminggu penuh bergelut dengan materi pelajaran, rasanya otakku sudah cukup mumet. Maklum, aku kan bukan bintang kelas ataupun bintang sekolah yang begitu melihat soal langsung bersemangat menjawab. Moodku kadang ada kadang hilang. Tapi aku tetap berusaha menjawab soal-soal dengan baik meskipun dengan nomor acak-acakan alias tidak beraturan. Aku mengutamakan menjawab soal pada nomor yang aku ketahui lebih dulu, alias yang lebih mudah.

“Rivaaaa.....” Iran setengah berlari menyusulku memasuki kelas. Ia tersenyum lebar tapi kemudian memasang wajah deg-degan.

“Kenapa lo, Ran?” tanyaku heran melihat tampangnya.

Kami berjalan bersisian menuju meja dan menurunkan bangku masing-masing.

“Gue pengen bilang, tapi nunggu ujian selesai deh,” sahutnya memutuskan.

Ia menarik nafas panjang. Aku semakin heran melihat tingkahnya.

“Apaan sih? Bilang aja sekarang,” desakku.

“Gak ah, tar lo gak konsen ujian. Nanti aja,” katanya berusaha menghilangkan tampang deg-degannya tapi aku tetap bisa melihatnya. Kusikut ia perlahan.

“Udah sih bilang aja. Justru lo makin bikin gue penasaran tau gak?” aku tidak mencubit Iran kali ini meskipun aku penasaran banget.

Iran rese deh, eh bukan rese sih, tapi argh... apa sih istilahnya? Aku mengguncang lengan Iran, “Kasih tau dong...”

Iran menghela nafas. “Tapi gue gak tanggung jawab ya kalo lo gak konsen ujian nanti.”

Aku mengernyitkan alis.

“Segitunya? Udah sih, gue gak bakalan kenapa-napa kok. Apalagi ujian bentar kan udah terakhir nih. Gue bakal tetap fokus!” kataku mengangguk yakin.

Iran menyengir seakan tidak percaya.

“Yaudah deh terserah lo. Tapi jujur gue deg-degan, Va, huaaaa.....”

Aku menepuk jidat. Bukannya langsung memberitahu malah kini histeris. Aku membungkam mulut Iran agar tidak berisik.

“Heh, pake teriak-teriak segala. Kasih tau gue dong!” desakku sekali lagi.

Iran mengangguk cepat dan melepaskan tanganku dari mulutnya.

“Abis ujian nanti bakal ada pengumuman siapa yang lulus olimpiade dan bakal lanjut ke provinsi!” akhirnya Iran memberitahuku.

Aku refleks membelalak. Omaigad! Seriusan?

“Serius lo, Ran?” aku masih melotot. “Ya ampun..... gue ikut deg-degan!” seruku.

“Apa gue bilang? Lo gak percaya sih. Gue aja deg-degan banget sumpah!” Iran berseru meringis sambil memegang kedua pipinya.

“Va, gue pengen banget bisa lolos!”

“Gue juga, Ran. Kira-kira kita lolos gak ya?”

“Hanya Tuhan yang tau, Va, sebelum kita liat pengumumannya,” jawab Iran.

“Ntar pengumumannya ditempel di mana? Eh, maksud gue, ditempel jam berapaan ya?” aku bertanya lebih kepada diri sendiri, “Kita kan ada dua mata ujian hari ini.”

“Yaaa mungkin selesai ujian. Atau mungkin bisa jadi pas kita ujian udah mulai ditempel tuh. Aduh, gue deg-degan lagi nih.”

Aku menatap Iran. Ya ampun, kira-kira untuk seukuran otak kami, bisa lolos ikut olimpiade tingkat provinsi nggak sih? Kami masih kelas sepuluh, sementara lawan kami banyak yang kelas sebelas bahkan kelas dua belas. Aduh..... harus banyak-banyak berdoa nih biar lolos.

“Va....” panggil Iran.

“Hm?”

“Doain gue ya,” pintanya.

“Iya, lo juga doain gue,” sahutku mengangguk.

Iran balas mengangguk. Kami akhirnya tidak bicara lagi begitu pengawas ujian mulai memasuki ruangan. Ujian pun dimulai beberapa menit setelah pengawas mulai membagikan kertas soal dan lembar jawaban.

Aku berusaha fokus dan melupakan sesaat tentang pengumuman olimpiade. Kubaca soal essay satu demi satu dan mencari soal mana yang memungkinkan untuk kujawab lebih dulu. Untung saja tidak mesti menjawab soal secara berurutan. Aku mulai menulis jawaban satu demi satu dan kembali membaca soal berikutnya.

Kira-kira gue ama Iran lolos gak ya?

Kak Ian juga lolos gak ya?

Trus Geo juga gimana......

Arghh.. malah gagal fokus begini. Aku menggeleng cepat, berusaha mengembalikan konsentrasiku. Kulihat jam tanganku menunjukkan waktu masih cukup lama. Duh.. kali ini aku berharap waktu cepat berlalu, tapi tentunya sebelum waktu berakhir, aku juga berharap otakku segera menemukan jawaban untuk menjawab soal-soal ujian. Hahaha.....

Teng.... waktu akhirnya berakhir. Aku bernafas cukup lega. Ternyata aku bisa menjawab semua soal tepat waktu, bahkan masih bisa memperbaiki jika ada yang terasa salah. Kulihat Iran juga bernafas lega, dan melirikku. Ia menyengir lebar.

“Eh, Ran, gimana kalo kita liat mading dulu, sebelum ujian terakhir,” usulku.

“Lagian mulainya juga 10 menit lagi kan? Masih ada waktu,” kataku sambil menunjukkan jam di tanganku.

“Boleh deh. Gue penasaran banget dari tadi,” Iran mengangguk setuju.

Kami izin kepada Dedy si ketua kelas untuk keluar sejenak.

“Jangan ke kelas Ips ya lo, Va,” ujar Dedy mesem-mesem. Ish, rese deh. Siapa juga yang mau ke kelas Kak Ian?

“Kali aja lo udah kangen, padahal bentar lagi juga ujian selesai trus weekend deh,” Dedy menambah lagi.

Tau ah gelap! Aku buru-buru mengajak Iran keluar dari kelas dan menuju mading. Setelah kami mengamati seisi mading, ternyata belum ada pengumuman olimpiade yang ditempel. Duh, kok belum ada ya?

“Belum ada nih, Ran,” keluhku semakin penasaran.

“Aduh, gila, gue makin penasaran aja,” Iran ikut mengeluh.

“Yaudah yuk balik lagi,” ajakku menggamit lengan Iran.

Baru saja kami hendak berbalik, tiba-tiba terdengar suara seseorang yang sudah cukup familiar bagiku dan Iran.

“Setiap peristiwa ada waktunya. Setiap kemenangan ada jadwalnya.”

Aku segera menoleh ke belakang dan mendapati Kak Andra yang sedang memegang sebuah amplop coklat yang cukup besar. Kira-kira seukuran kertas A4 lah. Iran menghela nafas, sepertinya sedikit bete dengan kehadiran Kak Andra yang tidak diinginkan tetapi selalu mengandung sindiran di setiap kata-katanya.

“Itu apa, Kak?” aku memberanikan diri bertanya sambil menunjuk amplop yang dipegang Kak Andra.

Ia menatap sejenak amplop di tangannya lalu menjawabku, “Sesuatu yang gak ada hubungannya dengan ujian kalian.”

Selesai ngomong begitu, Kak Andra lantas lanjut berjalan meninggalkanku dan Iran. Kulihat sobat di sampingku menahan rasa jengkelnya dan akhirnya menyampaikannya begitu Kak Andra sudah pergi.

“Sumpah deh, gue masih gak abis pikir lo dulu pernah naksir orang kayak gitu. Ih, amit-amit! Resenya sejak dia masih embrio kali ya.”

Aku meringis perlahan. Nggak tau kenapa, rasanya seperti masih ada yang mengganjal di hati, apalagi setiap habis berpapasan meski tanpa sengaja. Tapi aku berusaha menepisnya. Ingat Va, lo udah jadian ama Kak Ian. Gak boleh ada rasa buat orang lain. Huft.....

“Yuk Va, balik....” Iran menggamit lenganku dan mengajakku kembali ke kelas. Aku mengikut saja.

***

Cinta Datang TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang