16

1.3K 44 1
                                    

Latihan fisik sore ini kembali didampingi oleh Kak Andra. Awalnya aku senang, tapi mengingat dia udah punya pacar......... rasanya jadi patah hati. Nggak semangat.

“Lari... lari...” teriak Kak Andra dari depan. Tatapannya terarah padaku. Uh!

Aku berlari dengan tidak ikhlas mengikuti barisan. Iran menepuk lenganku.

“Ayo smangat!” Kulihat Iran tersenyum mencoba menguatkanku.

Aku menghela nafas dan mengiyakan seadanya.
5 menit kemudian, teriakan Kak Andra kembali terdengar, “Lari!”

Ugh! Kemarin-kemarin rasanya senang mengejarnya, sekarang malah menjengkelkan rasanya. Percuma lari mengejarnya. Dia kan udah ditangkap duluan sama cewek lain. Ih! Nyebelin!

“Lari itu harus ikhlas, biar full manfaatnya. Kalo gak, kamu cuman bakal dapat capeknya.”

Tiba-tiba saja Kak Andra sudah berdiri di sampingku sambil melipat tangan. Aku jadi terkejut. Kulirik kanan-kiri. Teman-teman berhenti dan menatapku. Tak terkecuali Iran. Tapi aku yakin dia mengerti.

“Dan gak pake melamun,” lanjut Kak Andra.

Uh, pedis! Pedis! Mentang-mentang udah bikin gue patah hati, sakit hati malah!

“Sekarang kita lari lagi!” perintahnya, kembali memimpin barisan untuk berlari.

Huh, kita? Lo aja sana! Iran meraih tanganku. Aku menoleh. Kali ini dia yang menggandeng tanganku dan menarikku berlari.

“Ayo Va....”

Aku nggak bisa bicara. Kuikuti Iran berlari. Mengejar Kak Andra yang semakin jauh.
Selesai berlari, Kak Andra mulai mengabsen kami.

“Siapa yang udah lari 5 kali?” tanyanya. Hanya beberapa orang yang mengangkat tangan.

“Iran?”

“Baru 4 kali Kak. Sisa satu lagi,” jawab Iran.

“Riva?”

“Sama Kak.”

“Kalian harus semangat! Gak papa kalian selalu di belakang saat lari, asalkan jiwa kalian tetap ikut berlari. Percuma juga kalau di barisan paling depan tapi kalian gak niat.”

Aku menunggu ceramah selanjutnya. Sepertinya Kak Andra jago ngomong. Kulihat ia mengelap keringat di dahinya.
Kak, i love you, tapi kenapa kamu pacaran sama cewek itu Kak? Siapa dia?

“Kalian ada masalah? Riva?”

“Eh?” aku tertegun.

Mataku bertemu dengan mata Kak Andra. Dia menatapku, menunggu jawabanku.

“Apa Kak?” tanyaku sungkan.

“Iran mungkin, bisa cerita ada apa?” Kak Andra balik menatap Iran. Iran menatapku dan Kak Andra bergantian, ga tau mau ngomong apa.

“Kalian mungkin masih ingat pertama kali latihan, Iran yang gak semangat, ditambah muntah-muntah segala, udah mau menyerah di tahap ini. Dan sekarang Riva. Kenapa? Ada masalah dengan PMR?”

“Nggak Kak,” jawab Iran.

“Kalian mau masuk PMR, mau menjadi relawan muda. Relawan itu ikhlas dalam menolong orang. Kalo kalian ikut latihan aja udah gak ikhlas, gimana kalian bisa ikhlas menolong orang?”

Susah payah aku menelan ludah. Aku takut menatap Kak Andra.

“Kalian masih berkomitmen? Kalo gak, saya dengan senang hati menyuruh kalian mundur aja sekarang!”

Aku dan Iran sama-sama mendongak ke arah Kak Andra. Teman-teman lain menatap kami, seolah nggak percaya juga. Rasanya beda banget dengan Kak Rio. Aku jadi ingat Kak Rio. Setiap latihan, selalu ada motivasi dan senyum ramah yang diberikan. Baru dua kali aku berlari bersama Kak Andra dan Kak Rio, tapi beda keduanya udah keliatan.

Cinta Datang TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang