67

411 10 0
                                    

Siang ini aku menemani Kak Ian membawa laptopnya untuk diperbaiki. Ada sedikit masalah di bagian motherboardnya, dan laptopnya harus disimpan sejenak beberapa hari di tempat servis. Setelah menitipkan laptop, Kak Ian mengajakku makan di mall. Sambil menunggu pesanan, Kak Ian mengajakku mengobrol sejenak.

“Va, dari tadi aku perhatiin kamu kayak bingung gitu. Ada masalah?” tanya Kak Ian mengamati wajahku.

Aku balas memandang Kak Ian sejenak, dan yang segera terekam di otakku adalah wajah ganteng Kak Ian. Huft, aku segera mengalihkan pikiran. Jangan gagal fokus, Va!

“Kak Ian pernah gak, berteman sama seseorang trus teman-teman yang lain pada gak setuju?” tanyaku.

“Gak setuju karena apa?”

“Yaaaah, mungkin karena teman Kak Ian itu gayanya kayak orang gak bener, trus suka berantem atau tawuran sama orang..... tapi ama Kak Ian dia baik, gak pernah macem-macem sih. Gimana menurut Kak Ian?” tanyaku lagi.

Kak Ian terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab, “Aku bakal tetap berteman sama dia.”

Jawaban Kak Ian membuatku sedikit terbelalak. Di luar dugaan.

“Kenapa, Kak?” tanyaku cepat.

“Karena Va, menurutku, setiap teman itu unik, berbeda satu sama lain. Teman yang satu ama teman yang lain pasti punya watak atau sifat yang berbeda-beda, gak sama. Misalnya antara Iran ama kamu, kalian berdua adalah teman. Meskipun kalian sama-sama baik, tapi pasti sifat kalian berbeda kan? Begitu juga ama teman yang lain. Ada teman yang baik, kalem, pinter, tapi nyatanya di balik kepintarannya itu ternyata dia sombong, gak mau berteman ama sembarangan orang alias pilih-pilih. Pengennya temenan sama orang pinter juga. Ada teman yang easy going, ceria, tapi playboy. Ada teman yang suka muji-muji kita, ternyata karena ada maunya, pengen manfaatin kita. Yaaah, banyak lagi lah contoh yang lain, Va. Tapi dari ketiga contoh yang aku sebut tadi, mungkin kamu bisa paham, kalo sebaik apapun teman kita, pasti ada satu atau beberapa sisi yang jadi kelemahan dia.”

“Sama kayak contoh teman yang kamu bilang tadi, Va. Dia baik ke kamu, gak pernah macem-macem, tapi sayangnya dia tukang berantem, gaya slengean. Kenapa? Karena teman kita juga manusia, pasti ada kelebihan dan kekurangan. Gak ada teman dengan sifat yang sempurna, apalagi sesuai dengan keinginan kita. Dan kalopun ada seorang teman dengan sifat yang sempurna, coba pikir, apa dia mau temenan ama kita? Padahal kita sendiri juga pasti ada kekurangan. Nah, kira-kira dia dengan kesempurnaannya itu mau gak, tulus berteman ama kita? Jangan-jangan dia juga pengennya temenan ama orang yang sempurna.”

Aku terdiam mendengarkan kata-kata Kak Ian. Ia melanjutkan lagi.

“Tapi Va, meskipun kita nggak mempermasalahkan sifat teman-teman kita, emang ada baiknya kalo kita sedikit seleksi. Bukan seleksi dengan menjauhi teman yang punya banyak kekurangan dan cuman berteman dengan orang-orang yang perfect, meskipun gak ada yang perfect ya, Va, tapi kita seleksi dengan tetap berteman sama mereka, cuman jangan sampai kelewatan batas, karena kita juga tetap harus jaga diri biar kita gak terjerumus kayak mereka. Jujur, Va, aku punya teman-teman yang  mungkin bagi kebanyakan orang, mereka adalah sampah masyarakat, gak berguna sama sekali, penampilan gak enak dipandang, pokoknya nilai minus buat mereka. Tapi kenapa aku tetap berteman sama mereka? Karena aku mau berteman sama mereka, mereka mau berteman sama aku. Sesempurna apapun kita, tapi kita tetap butuh orang lain.”

“Gak masalah Va, kalo teman-teman kamu gak setuju kamu temenan ama dia. Mungkin mereka cuman gak mau nanti kamu punya masalah ama dia apalagi karena orangnya suka berantem gitu. Tapi biar gimanapun kitalah yang menjalani hidup kita, Va. Orang-orang di sekitar kita hanya boleh ngasih masukan dan saran untuk hidup kita, tapi kitalah yang harus menentukannya sendiri. Tetap pertimbangkan saran orang lain, ambil yang baik dan buang yang buruk. Kalaupun kamu tetap mau berteman sama dia, gak papa, asal kamu bisa hati-hati dan jaga diri, jangan sampe kena masalah di lain hari.”

Memang nggak salah kalau aku sering minta pendapat pada Kak Ian. Pikirannya luas dan terbuka. Aku jadi punya pandangan baru dalam pertemanan. Huaaaa... Kak Ian benar-benar keren!

“Va?” tegur Kak Ian, mendapatiku bengong menatapnya.

Aku segera tersadar, “Eh... iya Kak?”

“Tuh makanannya udah datang. Ayok makan dulu. Nanti kita ngobrol lagi.”

Aku segera mengangguk. Begini nih kalau terlalu menghayati kata-kata Kak Ian. Duh Va, plis jangan gagal fokus lagi!

***

Cinta Datang TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang