52

665 20 2
                                    

Hari ini tidak seperti biasanya. Saat istirahat aku ikut bergabung dengan Lita dan Icha di kantin, sedangkan Iran menghindar saat diajak oleh Lita. Alasannya karena ingin mencari buku kimia di perpustakaan. Aku diam saja saat Iran benar-benar pergi menuju perpustakaan. Duh, nggak enak banget nih suasananya.

“Va, kok lo bengong gitu?” tegur Icha, begitu menyadari aku hanya mengaduk-aduk isi mangkok di hadapanku secara nggak jelas.

Aku menggeleng sejenak kemudian mencoba memaksakan untuk melanjutkan makanku. Huft, ini pertama kalinya aku diem-dieman dengan Iran. Jadi merasa bersalah juga sih, tapi kenapa aku nggak boleh dekat dengan Kak Aris sih?

“Eh Va, tuh pangeran lo datang, wkwk!” bisik Lita sambil memberi kode ke arah seseorang yang berjalan menuju meja kami.

Aku terkejut dan ikut menoleh. Kak Ian tersenyum dan meminta izin ikut bergabung.

“Boleh ikut gabung nggak?” tanya Kak Ian.

“Boleh banget Kak, boleh.....” seru Lita cepat, diikuti anggukan dari Icha yang juga tak kalah cepat. Duh, mereka berdua lebay banget sih. Aku hanya menyengir sejenak kepada Kak Ian.

“Hei Va...” sapa Kak Ian ramah.

Aku menghela nafas sejenak dan membalas senyumnya.

“Ehm.... Va, kita-kita kan udah selesai nih makannya, kecuali elo yang dari tadi bengong, jadi gak papa yaa kita duluan,” ujar Icha menyengir lebar. Tanpa rasa bersalah. Aku curiga mereka malah sengaja mau pergi.

“Tapi kan kita ke sini barengan,” sahutku cepat.

Tapi Lita dan Icha hanya tertawa dan langsung berdadah-dadah riang padaku dan Kak Ian, lalu bergegas keluar dari kantin. Plis deh Lita dan Icha udah mulai ikut-ikutan Iran nih, sengaja bikin aku dan Kak Ian berdua. Hmm... jadi kangen Iran banget kalo kayak gini. Dia di perpus beneran nyari buku atau apa sih? Masa dia gak makan? Aku jadi makin gak enak.

“Va.....” tegur Kak Ian menyentuh lenganku perlahan.

Aku terkesiap. Duh, kedapatan bengong.

“Eh,, iya Kak,” jawabku malu.

“Kamu ada masalah? Kok bengong gitu?” tanya Kak Ian.

Kurasa ia setuju dengan omongan Icha tadi. Aku menyengir perlahan dan menggeleng, kemudian segera menghabiskan makananku. Baru kusadari Kak Ian tidak makan.

“Kok Kak Ian gak makan?” tanyaku.

“Gak lapar sih sebenarnya, Va, tadi di kelas ada yang bawa makanan soalnya.”

“Lah.. trus kenapa ke kantin, Kak?” tanyaku lagi, heran.

“Biar bisa ketemu kamu, Va, hehehe...”

Huft, plis stop the sweet smile! Aku tidak tahu bagaimana rona wajahku sekarang, tapi kurasa sudah cukup memerah. Kak Ian sendiri masih terkekeh.

“Eh Va, mumpung belum bel, kita liat mading yuk? Denger-denger udah ada pengumuman olimpiade kemarin,” ujar Kak Ian serius.

O M G!

Aku mendadak sedikit tegang. “Serius Kak?”

“Iya. Tadi katanya bakal ditempel pas jam istirahat. Cuman aku belum liat. Mau nggak?” tanya Kak Ian lagi.

Aku refleks mengangguk. Mau banget lah, aku sangat penasaran bagaimana hasilnya. Lolos gak ya? Lolos gak ya?
Saat kami berdua berjalan menuju mading, aku tiba-tiba berhenti, membuat Kak Ian jadi bingung.

“Mmm.. Kak, bentar ya, aku ke perpus dulu. Bentaaaaar aja.”

Tanpa menunggu jawaban Kak Ian, aku bergegas memasuki perpustakaan dan mencari Iran. Siapa tahu aku bisa kembali berbaikan jika membahas olimpiade. Tapi nggak ada Iran di dalam. Jangan-jangan dia sudah kembali ke kelas. Yaaah, gagal deh. Aku keluar dari perpustakaan dan mendapati Kak Ian berdiri di depan pintu.

“Nyari apa sih, Va?” tanya Kak Ian.

Aku menggumam pelan dan menggeleng sambil tersenyum. Kuajak Kak Ian kembali ke tujuan semula, yaitu melihat mading. Benar, sudah ada pengumuman olimpiade, dan sudah ada beberapa orang berdiri di sana. Kulihat wajah-wajah mereka, memang benar, semuanya peserta olimpiade. Dan aku sedikit terkejut melihat Iran sudah berdiri di sana mengamati pengumuman. Rupanya Iran sudah tau lebih dulu. Dengan perlahan kuikuti Kak Ian menghampiri mading.

“Eh.. Iran, udah duluan di sini ya?” sapa Kak Ian tersenyum pada Iran.

Iran balas tersenyum, tapi begitu menyadari aku berdiri di samping Kak Ian, ia lalu kembali sibuk melihat pengumuman. Duh, demi semuanya, pokoknya aku merasa nggak enak banget deh. Plis Iran, sapa gue dong!

“Eh Va, liat, kamu lolos tuh! Liat....!”

Kak Ian menunjuk sebuah nama di kolom bidang Komputer seraya tersenyum lebar menoleh ke arahku. Aku lantas terkejut dan mendadak lupa pada masalahku dengan Iran. Aku segera maju agar bisa melihat lebih dekat dan lebih jelas. Benar, Kak Ian menunjuk namaku. Ya ampun, aku lolos. Aku bakal maju ke tahap selanjutnya!

“Kak Ian, aku lolos! Ya ampuuuun.....” seruku bersorak.

“Aku juga lolos, Va!” seru Kak Ian lagi setelah mencari namanya di bidang Matematika, dan ya, namanya juga terpampang di sana.

Kami berdua tertawa senang. Aku benar-benar tidak menyangka bisa lolos olimpiade tahap sekolah. Ya ampun, kayaknya aku norak banget deh, tapi tetap saja aku senang banget karena baru pertama kalinya aku ikut olimpiade. Tiba-tiba aku berhenti tertawa dan menoleh ke arah Iran yang kusadari ternyata masih ada di dekat kami. Ia hanya menyengir kepada Kak Ian, mengucapkan selamat, kemudian pamit duluan kembali ke kelas.

Benar saja, baru sedetik Iran pergi, Kak Ian lalu mengajakku sedikit menjauh dari mading, lalu bertanya perlahan, “Va, kalian baik-baik aja, kan?”

Aku menghela nafas, dan memaksakan tersenyum sejenak tanpa memandang Kak Ian.

“Ya gitu deh, Kak.”

“Ada masalah apa, Va? Kalo kamu mau cerita, cerita aja sama aku,” Kak Ian menawarkan diri sambil tersenyum.

Aku menyengir sesaat, nggak tau mau bilang apa, hingga akhirnya bel masuk berbunyi.

***

Cinta Datang TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang