ᮕᮢᮧᮜᮧᮌ᮪ | Prolog

146 7 0
                                    

❗𝐏𝐄𝐑𝐈𝐍𝐆𝐀𝐓𝐀𝐍❗

Novel ini merupakan suatu karya fiksi belaka. Nama-nama yang digunakan dalam novel ini adalah fiktif, kemiripan dengan realita kehidupan seseorang kejadian nama karakter dan sejarah yang ada adalah semata-mata kebetulan dan tidak disengaja.

Adapun novel ini tidak bermaksud dengan cara apapun meremehkan, tidak menghormati, pemfitnah, merusak, merendahkan kepercayaan, perasaan, sentimen, dan keyakinan orang atau pihak manapun komunitas budaya, adat, intuisi, negara, serta suku, agama, ras, dan antargolongan manapun.

Abad ke-14 yang lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Abad ke-14 yang lalu...

Penghianatan Patih Galuh terhadap Raja Prabu Sri Alengka Narawangsa atau Prabu Narawangsa, terbongkar kala Dayeuh, seorang pengawal kepercayaan Prabu Narawangsa yang termakan hasutan Galuh tertangkap basah saat hendak membunuhnya malam itu.

Kegagalan Dayeuh mengundang murka Galuh. Galuh akhirnya memutuskan untuk melakukan pemberontakan terbuka terhadap Kerajaan Sendang Rani. Meskipun selamat pemberontakan yang terjadi malam itu telah menciderai Prabu Narawangsa sehingga itu dijadikan sebagai sebuah kesempatan untuk Patih Galuh untuk menguasai Kerajaan Sendang Rani.

Tapi Prabu Narawangsa yang enggan menyerahkan kerajaannya pada orang seperti Patih Galuh sampai akhirnya memutuskan untuk menenggelamkan Kerajaan Sendang Rani. Dengan energi Spiritual yang tersisa ia menenggelamkan seluruh Kerajaan beserta seluruh kawasan dan isinya. Hingga membentuk sebuah situ yang bernama Situ Rani.

Masa sekarang...

"Dikisahkan salah satu keturunan diselamatkan oleh Raja dari kerajaan Jayakarsa sebelum Kerajaan Sendang Rani sepenuhnya menjadi situ." jelas seorang kuncen yang berdiri di depan murid-murid SMP yang sedang berkunjung ke sebuah objek wisata alam.

"Terus bagaimana dengan keadaan orang-orang di Kerajaan itu?" tanya seorang murid.

"Nah ini pertanyaan yang saya tunggu, konon katanya orang-orang yang ada di dalam Kerajaan menjelma jadi ikan-ikan yang ada disini. Jadi, kalian dilarang buat nyakitin ikan disini. Paham?!"

"Wahhh mereka ini beneran orang-orang dari Kerajaan Sendang Rani?" ucap kagum seseorang murid yang memandang ikan-ikan yang sedang berenang kesana kemari dengan cepat.

"Meskipun bukan, tapi dari cerita ini kita diajarkan untuk apa coba? Siapa yang tahu?"

Beramai-ramai murid itu menebak dari tebakan yang lucu sampai ada tebakan yang keluar dari jalur. Tapi Kuncen itu hanya dapat tersenyum memaklumi hingga tiba-tiba seseorang murid menjawab dengan tegas.

"Kita diajarkan untuk menghormati sesama makhluk ciptaan Tuhan, dan tidak merusak ekosistem alam dengan membunuh ikan-ikan yang ada disini."

Kagum dengan jawaban itu sang kuncen langsung bertepuk tangan yang mengundang tepuk tangan murid-murid lainnya.

Ditengah keriuhan itu seseorang mengacungkan tangannya dan berkata dengan lantang saat Kuncen itu melihatnya. "Pak boleh saya bertanya?"

Mata berbinar anak itu menatap kuncen dengan aura yang menggebu. Bahkan suaranya yang lantang seakan menjadi penanda bahwa ia tak mau direbut jatahnya. Hal itu tak ayal membuat kuncen itu terkekeh kecil. "Hahaha ... Silahkan."

"Terus sekarang apa yang terjadi dengan Patih Galuh sama keturunan Prabu Narawangsa itu?" tanyanya.

Kuncen itu terdiam saat mendengar pertanyaan itu. Dia tak menjawab bukan karena tidak tahu, tapi ia sedang mencoba mencari jawaban diingatannya. Sementara anak-anak yang lain sedang menunggu dengan mata yang berbinar pula.

"Patih Galuh murka dan bersumpah akan menaklukkan kerajaan Sendang Rani, hingga akhirnya ia memutuskan untuk bertapa dan akhirnya terbunuh oleh sang keturunan agung." saut seorang perempuan yang tiba-tiba menghampiri mereka.

Kedatangannya disambut senyum ramah kuncen itu. Gadis itu kemudian berbisik. "Pak Adi, bapak dipanggil sama pak Kades." setelahnya Kuncen itu langsung pamit pergi padanya dan anak-anak SMP tadi.

Perempuan itu nampak tersenyum manis pada mereka, hingga tanpa sadar senyumnya luntur kala melihat wajah yang tak asing lagi dimatanya. Begitu mata mereka bertemu tatap, senyumnya langsung melebar dengan sorot mata penuh haru.

Anak-anak yang antusias kembali menagih cerita pada perempuan itu karena perempuan itu tak kunjung bicara. "Kak, lanjutin dong ceritanya!"

Perempuan itu tersadar kemudian mengedarkan tatapan sebelum berkata. "Kita duduk dulu yuk!" ajaknya seraya menuntun mereka untuk duduk di sebuah saung disana.

"Jadi ceritanya begini ..."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Darah Biru & Harimau PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang