Naditya melihat mata ayahnya terpejam lambat. Seketika napasnya tercekat, ketika tangan besar milik ayahnya yang memegang pipinya jatuh lunglai. Pandangannya mengabur seiring dengan air mata yang menggenang dan akhirnya jatuh.
Hatinya hancur seketika...
Naditya langsung terdiam...
"Yah?" panggilnya pelan.
"Ayah?" panggilnya lagi agak sedikit keras.
Hingga suara tangisan lolos. "Ayah... Ayah... AYAH!!!!!"
Naditya menangis tersedu-sedu, memeluk ayahnya erat. Seakan tak mau melepaskannya. Ia berteriak prustasi berharap ayahnya akan sadarkan diri lalu membalas panggilannya.
Berharap akan ada sebuah keajaiban atau berharap ini adalah tipuan palsu di hari ulang tahun sebelum orang-orang bermunculan dan menyanyikan lagu ulang tahun. Tapi harapannya musnah saat tangannya yang bergetar itu mendekat ke leher ayahnya dan mencoba mencari denyut nadinya. Meski lemah Naditya akan melakukan segala cara untuk mengembalikannya, sayangnya Naditya tak menemukan denyut nadi Sankara
Air matanya kembali turun dengan deras ia memeluk ayahnya erat dengan perasaan yang terus menyalahkan diri sendiri. Suara peraunya mencoba memanggil ayahnya, berharap ini hanya ilusi semata.
Ia mulai berpikir, Jika saja ilmu spiritual dalam dirinya bisa dikendalikan lebih cepat mungkin ia bisa mencegah ini terjadi.
Jika saja dia tidak lemah
Jika saja dia bisa menyerang Antasena.
Jika saja...
Mata Naditya menatap nyalang Antasena yang tengah berdiri di tengah-tengah lingkaran dari ajian perangkap iblis itu. Dia tertawa ketika melihat Naditya yang sedang merasakan kehilangan yang mendalam.
"Naditya... Ckckck... Anak malang!" ucapnya dengan santai meski dirinya nampak sudah terluka. "Lihat oleh kamu baik-baik! Siapa lawan mu? Jelas aku tidak setimpal dengan keturunan pembawa sial seperti kamu!"
Gejolak api amarah makin membakar hati Naditya. Ia sudah tidak memperdulikan larangan Ki Pangrango lagi. Tujuannya hanya satu, bagaimana membunuh bajingan di depannya itu?
Pikirannya sudah tidak rasional lagi. Dia harus membunuh bajingan itu dan membayar atas apa yang dilakukannya terhadap Sankara. Dia harus membayar semuanya. Bajingan ini bahkan tak pantas berdiri di istana Sendang Rani.
Kilatan mata emas mulai nampak memenuhi retina matanya. Secara ajaib retina mata itu sepenuhnya berubah menjadi emas.
"Antasena! Ah tidak, Patih Galuh, dengarkan ini!" ucapnya dengan suara rendah yang entah bagaimana bergema di area, bahkan langkahnya kearah lingkaran iblis terasa membara dipenuhi gelora dendam. Tapi terasa agung disaat bersamaan.
"Oh, ternyata kamu tau siapa aku sebenarnya?!" ujarnya dengan santai.
Rupanya gadis ini tahu identitasnya yang sebenarnya. Terus kenapa? Antasena tak peduli, baik itu Galuh ataupun Antasena. Dua-duanya adalah dia.
"Apakah itu penting? Kamu sudah merebut orang tua aku sama bu Nias, nyakitin orang di sekitar aku, menggunakan raga agung Antasena untuk berbuat kejahatan! Memohonlah, mungkin setidaknya aku akan memberimu kuburan yang layak!" mata yang awalnya tenggelam menatap lantai, terangkat tajam melihat Antasena. Bola mata emas itu seakan menghujam Antasena sampai membuatnya tercekat.
Hanya saja ke angkuhan Antasena sudah tidak bisa di tolong lagi. "Kamu pikir, kamu layak menerima permohonan dari aku?"
Kebencian semakin menguasai Naditya sampai dari pijakan langkah itu muncul kilatan berwarna emas dan terus seperti itu di setiap lantai yang ia pijak. Hingga membawanya melayang sejajar dengan Antasena yang oleh rantai yang diciptakan lingkaran perangkap iblis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Biru & Harimau Putih
FantasySemenjak peperangan itu pecah, Keturunan kerajaan Sendang Rani menjadi target orang-orang kerajaan Jayakarsa. Mereka mengincar Keturunan dari Raja Narawangsa yang lahir di hari jum'at kliwon karena di percaya dapat membuka Lawang Agung hingga mereka...