ᮘᮘ᮪ |᮷᮱| : Pengorbanan Seorang Ayah

9 2 3
                                    

"Kami sudah mencarinya ke seluruh daerah sini. Tapi belum menemukannya."

"Perluas area pencarian!" titah Ki Pangrango.

"Bagaimana dengan area kerajaan Jayakarsa?" tanyanya lagi.

"Masih belum ketemu."

Sayup-sayup Naditya mendengar hal itu. Tidak suaranya sangat jelas. Tapi dia engga untuk bangun. Jika dia sadarkan diri sudah pasti Ki Pangrango tak akan membiarkannya pergi untuk mencari ayahnya. Ia harus menemukan kesempatan untuk keluar darisini tanpa di ketahui oleh Ki Pangrango.

"Gimana keadaan kanjeng nyai?" ini terdengar seperti suara Arya.

"Dia hanya nggak sadarin diri untuk sementara, jadi jangan khawatir!"

"Aki, sebenarnya aku sedikit bingung. Dari mulai latihan pengekalan energi, sampai tadi. Bukankah ada alasan di balik hal-hal itu?"

Ki Pangrango terdiam, sudah wajar jika Arya curiga. Ayah dan anak ini mencurigai semuanya dari awal tapi mereka tetap diam sampai saat ini.

Naditya diam-diam berharap agar Ki Pangrango tidak memberitahu lelaki itu. Ia tidak mau Arya merasa bersalah. Padahal itu sepenuhnya keinginan Naditya tanpa ada rasa emosi sesaat dan Naditya tidak pernah menyesalinya.

"Cukup ayahmu yang tahu, aku tidak bisa memberitahumu. Bagaimana jika kanjeng nyai marah padaku?"

Naditya menggerutu dalam hati. Kenapa Ki Pangrango memberitahukannya pada Prabu Bagaspati?

"Berarti benar ada yang kalian sembunyikan."

Ki Pangrango, kamu sungguh membawa Naditya ke dalam situasi ini?

"Kamu bisa membicarakannya dengan kanjeng nyai!" setelah mengatakan hal itu Ki Pangrango menepuk pundak Arya dan berjalan keluar meninggalkannya dengan Naditya.

Naditya merasakan lelaki itu berjalan mendekat kesampingnya. Satu kalimat yang tidak disangka tercetus dari mulutnya.

"Gue tahu lo udah sadar!"

Naditya tercekat. Suara dalam itu seakan sedang menginterogasinya. Alhasil Naditya membuka matanya dan membanihi posisinya. Arya juga nampak membantu meski wajahnya nampak tak bersahabat.

Keduanya diam dalam waktu yang agak lama. Arya juga nampak benar-benar mengacuhkannya.

"Oke, oke gue kasi tau!" akhirnya Naditya mengalah.

Ia harusnya sudah siap dengan konsekuensi ini sebelumnya.

Arya meluluh menatap gadis itu. Lagipula pasti ada banyak pertimbangan sebelum ia benar-benar menyembunyikannya.

Naditya menghela napas. "Sebenarnya cincin itu sama jiwa ayah lo itu pengendali kebangkitan energi spiritual gue."

Arya hendak menyela, tidak lebih tepatnya ia hendak melawan perkataan gadis itu. Tapi Naditya buru-buru memegang tangannya. Sehingga dia kembali meluluh dan tak berkata apapun.

"Lo liat, gue ngga papa kan? Gue bahkan bisa naik ke tingkat Visuddhi sekarang. Jadi lo ngga perlu khawatir, selama gue ngga marah dan latian dengan bantuan lo atu Prabu Bagaspati gue nggak bakal kenapa-napa, kok!" cerocosnya mencoba meyakinkan Arya.

Arya melihat binar keyakinan dimata gadis itu. Jadi ini yang ia sembunyikan dari dulu. Gadis ini pandai sekali membuat orang khawatir.

"Terus apa konsekuensi paling buruknya?" tangan Arya mengepal, ia sebenarnya hanya ingin mendengar bahwa tak ada konsekuensi apapun. Tapi, tidak mungkin semudah itu.

Naditya memalingkan muka. "Kewarasan dan nyawa!" cicitnya kecil.

Arya makin mengepalkan tangannya. Ia tidak munafik, di lubuk hati terdalamnya ia sendiri ingin ayahnya. Tapi, kenapa harus dibayar sekeji ini?

Darah Biru & Harimau PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang