ᮘᮘ᮪ |᮴᮶| : Sejumlah Fakta

22 4 0
                                    

Naditya terus mengekori bu Nias yang terus berjalan tak tau mau kemana. Bu Nias juga sudah dari tadi diam. Dia tak membuka mulut. Naditya yang ada di situasi ini hanya bisa diam menutup mulutnya rapat. Naditya menunggu agar bu Nias siap memberitahu keadaan yang di katakan oleh Ki Pangrango.

Meskipun bingung setengah mati, tapi Naditya hanya dapat menunggu.

Hingga akhirnya ia bertanya, "Nana, bisa ngga kalo kita pulang saja?"

"Hah?" Naditya berseru kaget. Baiklah sekarang dia makin bingung. Jika dia hanya pasrah pada keadaan itu hanya akan membuatnya semakin bingung.

Ia menghela napas mencoba memilih kata yang tepat. "Jika kita pulang, apakah orang yang disebut Aki tadi akan mengijinkan?"

Nias langsung tersadar olehnya. Ia bahkan sampai berhenti berjalan. Iya juga, pikirnya Ki Pangrango bukan orang semurah hati itu. Ia juga pasti membawa Naditya kesini dengan alasan. Jika tidak, mana mungkin dia meminta Nias untuk menjelaskannya.

"Baiklah biar ibu yang ngejelasin!" tak beberapa lama Nias berkata seperti itu. Naditya akhirnya tidak jadi mendesaknya.

Nias berhenti tepat di depan sebuah bangunan. Bangunan itu nampak berbeda dari bangunan yang dilihat Naditya. Bangunan yang bersejarah dan rapi itu terasa sangat hampa dan kesepian meski terletak ditengah-tengah daerah itu.

Nias membuka pintu, angin dingin langsung menerpa mereka seakan ini adalah tempat yang sudah lama ditinggalkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nias membuka pintu, angin dingin langsung menerpa mereka seakan ini adalah tempat yang sudah lama ditinggalkan. Naditya melihat ke sekeliling, perabotan disana tidak banyak. Tapi Naditya menemukan berbagai macam keris tergantung di dinding kayu itu. Di depan nya terdapat sebuah meja kecil yang memiliki dua kursi sementara banyak buku yang ditata rapih di lemari kayu di belakangnya.

Bu Nias duduk di kursi itu. Sementara Naditya masih menikmati interior ruangan itu. Sangat karena ini sangat asri jarang sekarang ini ada hunian dari kayu dan bambu seperti ini bahkan sampai ranjang dan perabot lainnya juga terbuat dari bambu dan kayu.

"Duduk!" ajak bu Nias.

Barulah saat itu Naditya kembali sadar. Bahwa ia sudah terlalu lama mengagumi tempat itu. Naditya tidak buang waktu lagi langsung duduk di depan bu Nias.

"Bu, ini rumah siapa? Bagus banget!" ungkap Naditya.

Bu Nias menuangkan teh yang sudah ada di meja itu sedari tadi. Secangkir teh hangat di sodorkan pada Naditya ketika ia bertanya tadi. Bu Nias terlebih dahulu menuang teh pada cangkirnya sebelum ia berkata.

"Ini asrama ibu," jawabnya singkat.

Mendengar itu Naditya tentu saja terkejut bukan main. Jadi, Bu Nias juga orang disini? Naditya kira bu Nias hanya mengenal kakek-kakek tadi bukan karena dia memang tinggal disini. Ini berarti...

"Ibu juga latian silat?!" tanyanya kegirangan sendiri.

Bu Nias mengangguk. "Bukan cuma silat, tapi ibu juga belajar tentang energi spiritual!"

Darah Biru & Harimau PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang