ᮘᮘ᮪ |᮵᮴| : Pemberontak

19 2 0
                                    

"Darah aura. Bagus juga siasatmu Ericha... Ah tidak Cantika!" ucap wanita itu tajam dengan nada erotisnya.

Ericha hanya diam tak menanggapi. Ia acuh tak acuh duduk disana dengan tegap seraya membaca buku di tangannya.

"Terus aku harus memanggilmu ibu atau bibi?"

"Anak sialan ini!" rutuknya kesal.

"Berhenti!" tukas seseorang dengan nada tegas.

Lelaki bertudung itu datang dan sanggup membuat Ericha beranjak dari duduknya dan bertekuk lutut untuk hormat.

"Salam paman!"

Melihat lelakinya sampai Gendhis menghampirinya dengan langkah manja. Kemudian bergelayut manja melingkarkan tangannya. Jika Ericha katakan ibunya ini sudah seperti pelacur.

Lelaki ini langsung berlalu begitu saja, duduk di sofa mengabaikan Ericha yang berlutut disana. Sementara Gendhis ini dengan manjanya meminjat pundak lelaki itu.

"Bangun! Ngga ada yang nyuru kamu berlutut," ketus lelaki itu.

Seakan hipnotis Ericha berdiri tentu saja, menghadap kepada lelaki itu.

"Ada yang ingin kamu laporkan?" tanyanya kemudian.

"Lapor pada paman, saya telah meneteskan Darah Aura pada keturunan agung. Jadi, paman tidak perlu khawatir akan kehilangannya."

"Kerja bagus Cantika!"

"Terimakasih paman."

"Ada lagi yang perlu kamu laporkan?" tanya lelaki itu yang entah mengapa langsung menatap diri Ericha tajam.

Melihat itu Ericha langsung menundukkan kepalanya. Sepertinya ada hal lain yang di maksud lelaki itu sebagai laporan? Lantas apa yang Ericha lupakan?

Bruk ...

Suara keras tulang yang bersinggungan dengan lantai memekakan telinga. Lutut itu terjatuh dilantai begitu keras hingga Ericha hanya dapat menelan rasa sakitnya sendiri dengan menggigit bibirnya. Lelaki itu mengerahkan 2 persen energi spiritualnya untuk membuat Ericha bertekuk luntut di lantai.

Benar, ada hal lain yang seharusnya Ericha lakukan tapi tidak ia lakukan.

"Di butakan rasa cemburu sampai kamu tidak memperhatikan putra mahkota dan membiarkannya mendapatkan cincin pengikat jiwa."

Mata Ericha terbelalak kaget.

"Terkejut bukan? Aku ingatkan lagi tugas mu, adalah untuk membuat hubungan putra mahkota dan keturunan agung renggang."

Ericha terus menahan rasa sakit di lututnya, ia mengeratkan cengkraman tangannya pada rok sekolahnya. Kini rasanya seakan puluhan kilo batu menimpanya dan tubuhnya seperti di topang agar tetap dalam posisi berlutut, seakan sengaja agar lututnya terluka.

Melihat anaknya terluka Gendhis iba juga. Ia akhirnya ambil bicara.

"Raden, setidaknya sekarang keberadaan keturunan agung akan selalu di bawah hidungmu. Benar bukan?"

Lelaki itu mendongakkan kepalanya melihat Gendhis. Wajah tak asing terlihat memenuhi pandangan Gendhis. Lelaki yang tak pernah bosan di tatapnya. Patih Antasena.

"Sepertinya kamu juga bosan berdiri."

Menangkap bahaya dari ucapan itu Gendhis buru-buru berlutut hormat dengan kepala yang tertunduk.

"Ampun Randen. Raden sangat bijaksana, hamba tidak berani."

Begitu perkataan itu di ucapkan Antasena mengalihkan pandangannya kearah Ericha lagi. Maksudnya agar gadis itu mengerti akan situasinya sekarang.

Darah Biru & Harimau PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang