ᮘᮘ᮪ |᮲᮵| : Waspada

26 7 1
                                    

Kabar itu tentu saja langsung datang pada Sankara. Dia tidak membuang waktu untuk langsung pergi ke rumah sakit. Tapi, tak beberapa lama berselang Naditya muncul ke luar dari mobil Nias. Gadis itu dengan langkah yang tertatih-tatih mendekat kearah rumahnya. Sankara tentu saja tak membuang waktu langsung menghampiri putrinya dan menggendongnya di punggungnya.

Ia mendudukan gadis itu di sofa sementara bu Nias hanya bisa memaklumi nya. Bu Nias juga membuka bagasi mobilnya dan membawa tas milik gadis itu yang kemarin ia bawa. Seterusnya ia langsung mengikuti Naditya dan Sankara ke dalam rumah.

"Nana, kamu nggak papa?" itu adalah pertanyaan kesekian yang Sankara tanyakan pada Naditya, sampai Naditya hanya dapat tersenyum kikuk dan menatap dengan memelas pada Bu Nias.

Bu Nias terkekeh geli. Lalu setelah menaruh tas itu di kamar Naditya, ia kembali dengan membawa bantal tidur untuk digunakan Naditya sebagai senderan empuk di Sofa.

Nias menaruh bantal itu dengan benar agar Naditya merasa nyaman. Lalu Sankara dengan sigap mengambil alih tugas Nias untuk membantu Naditya mengambil posisi yang nyaman.

"Gimana? Nyaman nggak?" tanya Sankara.

Naditya mengangguk. "Udah nyaman, Yah!"

"Sankara!" panggil Nias yang menarik perhatian Sankara. "Kita perlu bicara bentar. Biarin Nana istirahat dulu."

Sankara menatap Nias sekilas sebelum menatap Naditya kembali. Kemudian ia menghela napas sebelum akhirnya menyetujui perkataan Nias tadi dan berjalan ke ruang baca Sankara mengikuti Nias.

Disisi lain Jadinya menghela napas lega. Kadang kekhawatiran ayahnya memang membuatnya sedikit pengap. Yah, Naditya juga tahu jika segala kekhawatirannya itu membuatnya kembali mengingat tentang ibunya. Tapi, kekhawatirannya itu sangat berlebihan dan terasa sangat mencekik.

Oh iya, ngomong-ngomong gimana ya keadaan Arya. Setelah ia bangun tadi, Arya sudah tidak tidur di bongkar disampingnya. Ia hilang entah kapan dan kenapa. Yah, semoga ia pergi untuk benar-benar menyembuhkan dirinya. Racun ular itu bisa saja memiliki efek samping lain.

Bicara tentang Arya ia jadi lupa kenapa ia bisa tidak sadarkan diri tadi.

Ah... Sudahlah...

Begitu tiba di ruang baca, Nias langsung mengubah wajahnya menjadi serius.

"Sankara, bisa kamu ceritain soal kejadian 17 tahun yang lalu?"

Sankara yang merasakan aura serius itu, membuat ia juga memasang wajah yang serius. "Ada yang kamu temuin?!"

"Ceritain! Sebelum aku mengesampingkan posisi kamu sebagai ayahnya Nana."

Orang-orang mungkin berpikir bahwa Sankara adalah orang paling keras kepala dan tegas. Tapi, Nias lebih darinya. Sikapnya ini sudah ada sejak awal bahkan dahulu Nias bisa lebih garang. Hanya saja setelah ia diminta untuk mengurus Naditya sikapnya sedikit meluluh. Akan tetapi, sikap tegasnya akhir-akhir ini muncul kembali. Semenjak ada Aura bangsa manusia Harimau itu.

Sankara menyerah. Ia menceritakan semua yang ia tahu tentang kejadian malam itu. Malam dimana hal terkelam terjadi padanya. Malam dimana ia kehilangan sangat istri karena kelalaiannya. Jika ia tidak bertindak se egois itu mungkin saja Gayatri masih hidup kan?

"Ok, kamu ngeliat prabu Bagaspati disana?"

"Aku memang merasakan aura bangsa manusia Harimau dan para siluman. Tapi, tidak ada satupun aura bangsawan seperti aura prabu Bagaspati saat itu."

Nias kembali berpikir dengan sangat serius. Ia berpikir tentang kehadiran aura mirip dengan Aura prabu Bagaspati pada Naditya. Jika dia tidak ada sangkut pautnya dengan orang-orang yang ingin kekuatan mandraguna Naditya dan kerajaan Sendang Rani, kenapa Arya seakan mengincar Naditya? Apa yang terjadi?

Darah Biru & Harimau PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang