Setelah penjelasan agak rumit itu, perlu waktu bagi Naditya untuk mencernanya. Sesekali ia nampak melihat telapak tangannya tanpa ekspresi. Kemudian kembali tenggelam dengan pikirannya.
Nias tidak menegur gadis itu, ia juga menyadari hal ini pasti butuh waktu untuk di cerna olehnya. Saat ia akan mengelus rambut gadis itu seorang gadis yang sepertinya adalah salah satu murid padepokan masuk dengan sopan ia membungkuk patuh pada Nias, tapi itu tak menghilangkan tatapan kekaguman yang ia arahkan pada Nias seakan dia telah bertemu dengan artis besar yang disukainya.
"Tidak perlu terlalu sopan!" kata Nias.
Gadis itu kemudian berdiri tegak. Baiklah, sekarang fokus dulu dengan perintah Aki.
"Étéh, Aki manggil étéh !" beritahunya dengan suara yang tegas tapi lembut.
"Baik, kita akan segera kesana."
Gadis itu mengangguk, sebelum pamit undur diri.
Nias beralih menatap Naditya yang sepertinya masih belum tahu keadaan dan masih tenggelam dalam pikirannya. Ia menepuk pundak Naditya dua kali, membuat gadis itu terenyuh dan reflek menatap Nias.
"Kita di panggil Aki!"
Naditya mengangguk paham.
"Ayo kesana dulu!" ajak Nias.
Naditya tersenyum kecil, bahkan Nias bisa merasakan kehampaan dalam senyumnya itu. Tapi mereka berjalan berdampingan pada akhinya untuk pergi dari sana.
Disana nampak Arya sedang emosi, tapi itu juga menutupi kebingungannya tentang kisah yang di katakan Ki Pangrango itu. Hingga Naditya dan Nias datang kesana. Arya buru-buru menyerobot tangan Naditya sambil menggerutu.
"Ayo kita sembuhin dulu si bocah gurun itu."
Naditya yang tiba-tiba di seret entah kemana tentu saja terkejut bukan main, dia langsung mencoba melepaskan genggaman tangan Arya di pergelangan tangannya. Dhika yang tak suka melihat itu bergabung dalam pertikaian kecil itu. Ia memegang tangan Arya lalu memandangnya dengan tidak bersahabat. Suasana antara keduanya nampak tidak baik.
"Lepasin!" ketus Dhika.
Arya menghela napas dan melepaskan genggaman tangannya.
Naditya yang kebingungan bertanya pada Dhika tentang apa yang telah terjadi sampai Arya sangat terburu-buru seperti itu. Dhika hanya menjelaskan bahwa Ki Pangrango belum memberitahu Arya kenapa ayahnya meninggal. Tidak, lebih tepatnya meleburkan jiwanya pada cincin pengikat jiwa di jari Naditya.
Naditya yang telah di ceritakan kejadian beberapa tahun lalu oleh Nias. Mengangguk paham. Tapi, dia belum mengerti kemana Arya akan membawanya barusan.
Jadi, dia bertanya, "Dia tadi mau bawa gue kemana?"
"Lo juga tau Hara lagi sakit. Yang bisa nyembuhin dia cuma lo sama Arya."
"Jadi, Arya mau bawa gue ke Hara?"
Dhika mengangguk.
Ki Pangrango keluar dari pendopo itu dan berjalan mendekati ketiga remaja yang nampak berbicara di area jembatan. Tanpa diminta ia menjelaskan situasinya pada Naditya. Ia juga tahu jika Naditya belom tahu kejadian yang sebenarnya.
"Bocah itu sengaja mentransfer energi spiritual putra mahkota Arya yang ada pada Dhika agar Dhika baik-baik saja dan tidak di curigai. Tapi, dia malah membuat dirinya terluka karena energi spiritual itu!"
Kening Naditya mengerut, tanda jika ia kebingungan. Jika seperti itu, terus kenapa Naditya baik-baik saja sekarang? Padahal ia pernah berbagi energi spiritual dengan Arya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Biru & Harimau Putih
FantasíaSemenjak peperangan itu pecah, Keturunan kerajaan Sendang Rani menjadi target orang-orang kerajaan Jayakarsa. Mereka mengincar Keturunan dari Raja Narawangsa yang lahir di hari jum'at kliwon karena di percaya dapat membuka Lawang Agung hingga mereka...