ᮘᮘ᮪ |᮶᮶| : Tingkat Visuddhi

15 3 1
                                    

Tak membuang waktu perjalanan saat PKL berjalan dengan lancar. Pak Badaruddin yang di segani di desa ini membantu dengan baik, hingga beberapa orang juga membantu dengan senang hati. Seakan pak Badaruddin saja membantu dengan ramah apalagi kita.

Mereka menyatu dengan masyarakat setempat mengikuti kegiatan harian dengan baik. Mereka juga membantu masyarakat mengajari pengairan modern yang di pelajari saat sekolah. Kerjasama yang harmonis.

Hari berganti hari tak terasa. Segalanya berjalan lancar.

Hanya saja...

Keris itu masih belum bisa diaktifkan. Dia masih terkunci. Jadi apa pemicunya? Ikatan batin seperti apa yang diinginkan keris ini.

Naditya menjelang sandekala melakukan apa yang dilakukan ibu dan ayahnya. Ia menetap keris itu kebingungan. Sudah tujuh hari, tapi tak ada yang terjadi dengan keris ini. Malam menjemput, tapi keris itu tak bereaksi sedikitpun.

Naditya menghela napas. Ia memasukkan kembali keris itu ke kotaknya.

Apa maksud dari 'serahkan semuanya pada hatimu' yang sebenarnya?

"Na?"

Sebuah suara perempuan menyapanya. Kanaya yang baru saja datang duduk di samping Naditya.

"Masi belum bisa?" tanya Kanaya saat ia melihat kotak kayu di pangkuan Naditya.

Naditya menggelengkan kepalanya lemah.

Kanaya menepuk bahu Naditya. "Tenang aja!" katanya, "nggak perlu buru-buru."

Naditya tersenyum mengangguki kata itu.

"Oh iya, malem ini kamu lanjut tapa. Besok kita liat progres kamu."

Naditya melihat kearah Kanaya. "Udah dapet batang pohonnya?"

Kanaya mengangguk cepat.

"Tadi waktu gue ngerumpi sama ibu-ibu di deket situ. Waktu ngasi makan monyet, aku diem-diem ngambil."

"Bagus, mungkin abis gue naik tingkat gue bisa micu aktifnya energi spiritual keris ini."

"Yoi, jadi jan sedih-sedih gitu."

"Oke lah, ayo mandi abis itu aku bakal tapa."

Kanaya mengangguk seraya membantu Naditya berdiri. Mereka berjalan masuk sambil berbincang-bincang kecil.

"Btw, cluenya apa si, sampe bikin lo kepikiran gini?"

Naditya menghela napas. "Ayah sama ibu cuma bilang, serahkan pada hatimu! Ki Pangrango juga bilang kalo keris ini dan aku sama."

"Mmm, rumit juga ternyata."

Kanaya nampak berpikir keras. Kemudian matanya membelalak dengan sendirinya sampai ia berhenti di tempat.

"Eh tunggu jangan bilang..."

Merasa tahu apa yang dipikirkan Kanaya Naditya langsung menjitak kepala gadis itu.

"Kalo lo mikir tentang cinta sejati. Gue bakal lempar lo ke laut kidul."

Kanaya terkekeh kecil. "Bukan cuma itu doang si, gue mikirnya lo harus cepet-cepet nikah. Gue pikir ritual yang lo lakuin setiap sore itu harusnya dilakuin sama pasangan. Kayak bokap sama nyokap lo gitu."

"Apaan, kok bahasnya sampe nikah!" Naditya tersipu dengan pernyataan itu.

Kanaya tersenyum jahil. "Kenapa cuma itu yang lo simpulin? Padahal gue ngomong banyak."

Kesal sendiri Naditya mencubit lengan gadis itu. Karena reaksi itu Kanaya hanya bisa tertawa keras.

Muka Naditya sudah merah padam karena malu. Apaan juga Kanaya ini, kenapa tiba-tiba bahas hal itu. Tentu saja Naditya mempertanyakannya. Lagi pula belum tentu keris ini bisa aktif cuma karena ritual pasangan.

Darah Biru & Harimau PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang