Kabar Naditya yang masih belum siuman karena cincin pengikat jiwa itu dilepas dan kini malah dilarikan ke puskesmas langsung didengar oleh Sankara. Ia tanpa memperdulikan apapun langsung pergi ke puskesmas yang sudah dikatakan padanya oleh Nias.
Begitu sampai di ruangan yang diberitahukan padanya oleh resepsionis puskesmas ia langsung berlari keruangan itu. Retinanya menangkap tubuh Naditya yang berbaring dengan selang infus yang terpasang ditangannya. Sebenarnya apa yang sudah terjadi.
Air mata mulai berlinang. Kenangan tentang sang istri yang meninggal karena kelalaiannya berputar di otaknya bagai lagu pedih yang terus berulang. Sialnya sekarang dirinya pun hanya bisa diam menangis melihat anaknya tak sadarkan diri.
"Maafin ayah yang nggak berguna ini, maafin ayah!" tangan pucat ayahnya itu memegang tangan Naditya.
"Nana, jangan tinggalin ayah. Nanti ayah jawab apa kalo ditanyain sama bunda kamu?" katanya dengan suara berat dan serak.
Dadanya seperti ditimpa puluhan batu, sangat sesak dan nyeri. Lebih nyeri daripada saat sesak nafasnya kambuh. Dalam pikirannya, baik dulu maupun sekarang dia hanya sampah tak berguna dan tiba-tiba ingin menjadi super hero yang akhirnya hanya menimbulkan masalah. Benar-benar tak berguna.
"Nana, anak cantiknya ayah, jangan sama kayak bunda kamu yang tiba-tiba ninggalin ayah. Asalkan kamu sadar ayah bakal ngabulin apapun yang kamu mau, gimana? Asal jangan tinggalin ayah." ucapnya dengan harapan yang minim. Bisakah kali ini Tuhan berpihak padanya?
"Beneran?" tanya seseorang dengan suara lemahnya.
Mendengar suara yang tak asing lagi di telinganya, Sankara langsung melihat kearah Naditya kembali. Gadis itu sudah siuman. Rasa gembira dan lega bercampur menjadi satu. Tak ayal hal itu langsung membuat Sankara mendaratkan kecupan di kening Naditya.
"Makasih udah bertahan," seru Sankara.
"Yah, tadi beneran bakal ngabulin apa yang aku mau?" tanyanya masih dengan suara lemah.
Sankara tersenyum lembut seraya mengangguk, "iya! Apapun!" tegasnya.
Naditya awalnya nampak ragu, tapi ia meneguhkan hatinya dan berkata, "Aku boleh ikut camp yah?"
Senyum Sankara luntur seketika, kini wajahnya penuh kebimbangan. Sehingga menjawab 'iya' atau 'tidak' pun kini tidak bisa ia lontarkan. Lidahnya terasa kelu sekarang. Bahkan ia merutuki apa yang dikatakannya tadi.
Menangkap keraguan sang ayah, Naditya akhirnya mengambil posisi untuk meyakinkan sang ayah. Tangannya meraih tangan ayahnya dan ia genggam tangan itu erat.
"Yah, disana ada Dhika, Kanaya, sama Hara. Ayah taukan mereka bakal selalu ngintilin aku. Terus ada bu Nias juga. Ayah selalu percayakan kalo bu Nias bakal jagain aku, Hmmm? Aku janji aku bakal jaga diri."
Kini Sankara nampak berpikir sangat keras. Kemungkinan buruk selalu saja menghantuinya. Tapi akhirnya ia mengangguk, yang membuat senyum di pipi anak gadis kesayangannya mengambang dengan sangat indah. Hal itu membuat Sankara juga ikut tersenyum.
"Makasih Ayah!" seru Naditya gembira.
Anaknya jelas-jelas sedang bahagia didepannya, tapi kenapa perasaannya terus mengeluarkan firasat tak enak?
KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Biru & Harimau Putih
FantasySemenjak peperangan itu pecah, Keturunan kerajaan Sendang Rani menjadi target orang-orang kerajaan Jayakarsa. Mereka mengincar Keturunan dari Raja Narawangsa yang lahir di hari jum'at kliwon karena di percaya dapat membuka Lawang Agung hingga mereka...