ᮘᮘ᮪ |᮶᮹| : Menghilang

10 2 0
                                    

"Gimana?" tanya Naditya penasaran.

Ikan itu maju lebih dekat, sementara ikan lainnya memberi ruang dan tidak melakukan pergerakan apapun.

"Keris renjana, memiliki kekuatan hati sebagai dasarnya jelas ketulusan adalah kuncinya."

Naditya awalnya ingin menyela mengatakan bahwa ibunya sepertinya sudah melalui step itu. Tapi, dia kembali menarik diri dan terus mendengarkan ikan itu menjelaskan padanya.

"Tapi menurut kata kanjeng nyai, keris itu di kunci, jelas berarti sudah ada yang dapat menjadi tuannya. Dan itu berarti dia sedang menunggu tuan yang sesungguhnya."

Benar saja dugaan Naditya ikan-ikan disini bukan ikan sembarangan, jelas mereka lebih tahu dari Naditya.

Tunggu... Perasaan aneh apa ini?

Naditya meraba dada kirinya, hatinya entah mengapa tiba-tiba gelisah. Tapi, suara ikan itu menginterupsinya.

Baiklah, lupakan dulu soal perasannya.

"Setiap energi spiritual yang terkunci pasti butuh pemicu seperti ikatan batin atau keinginan hati yang kuat. Ini juga berlaku bagi keris renjana, jika sudah ada pemicu seperti itu maka tuan yang baru akan sepenuhnya menguasai keris renjana."

Naditya menyimpulkan, bahwa maksud ibunya dan Ayahnya bahwa serahkan semua pada hatimu adalah bukan mencari cinta sejati, tapi haruslah ada keinginan yang kuat dari hatinya agar bisa memicunya. Dan maksud dari Ki Pangrango jika ia dan keris ini sama berarti perlunya ikatan batin antara dia dan keris renjana. Jika keduanya dikaitkan maka Naditya akan bisa mengaktifkan keris renjana ini lagi.

Naditya tersenyum penuh kemenangan.

Ibu, soal menanyakan hal ini pada para ikan prajurit ini Naditya tidak curang ya, ini namanya cerdik.

"Terimakasih sudah membantu aku!"

"Sebuah kehormatan bagi kami."

Kemudian Naditya menggerakkan tangannya sinar emas yang berkilauan muncul dan jatuh ke air.

"Ini sebagai tanda terimakasih! Jika tidak cukup kalian bisa memanggilku, kalian jadi bisa melakukan telepati pada ku dalam radius jarak yang jauh."

"Terimakasih kami pada kanjeng nyai."

Begitulah percakapan mereka selesai.

Hara yang menjaga situasi menghampiri Naditya dan berkata dengan tidak sabaran.

"Na, ini udah lama. Ayo pulang!" ajak Hara setelah pertimbangan matang.

Naditya mengangguk. Ia langsung berjalan mendahului Hara. Rasa gelisah itu makin dibiarkan makin menjadi rasanya. Entah bagaimana kekhawatiran yang tak menentu menggeryapi perasaan Naditya.

Langkahnya juga sudah mulai terburu-buru. Anehnya setelah memasuki era perkebunan, perasaan Naditya masih campur aduk. Dia pikir perasaan itu hanya perasaan takut ketahuan oleh seseorang. Tapi, nyatanya tidak. Perasaan ini jauh lebih sulit di jelaskan.

"Ra, udah berapa lama gue ngobrol sama mereka?" tanya Naditya.

Hara melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Waktu masih menujukan pukul 2.17 itu hanya berselang 17 menit setelah mereka selesai membantu bu Santi.

"Sekitar 17 menitan, kenapa?"

Naditya kembali meraba dadanya. "Ngga tahu, gue cuma ngerasa bakal ada hal yang buruk terjadi."

"Eh itu mulut!"

Naditya menghela napas kasar. "Uda, ayo pulang dulu. Nanti ada yang curiga!"

Naditya langsung mengambil langkah cepat, Hara hanya bisa memiringkan kepalanya kebingungan sembari mengikutinya dari belakang.

Darah Biru & Harimau PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang