ᮘᮘ᮪ |᮵᮱| : Menerima Takdir

19 2 0
                                    

Mata Naditya bergetar dan memalingkan muka. Arya yang sadar langsung membantu Naditya duduk kembali ditepian kasur. Canggung menyapa keduanya.

Naditya mengela napas kecil. "Lain kali jangan tiba-tiba berlutut lagi."

Arya berdeham sebagai jawaban iya. Kemudian tak ada lagi percakapan antara keduanya.

Naditya mencoba mencari topik pembicaraan agar suasana diantara mereka tidak aneh lagi. Akhirnya sebuah pemikiran melintas di kepalanya.

"Oh iya, bokap lo?"

Arya mengerjap kebingungan pada awalnya. Kemudian setelah berpikir, ah Ayahnya memang belum bisa keluar dari cincin itu. Perlu waktu untuk menyembuhkan jiwa yang sudah melebur dengan benda keramat seperti ini. Tapi, itu bukan hal yang mustahil bagi bangsa Harimau putih.

Arya memunculkan cincin itu dengan energi spiritualnya seperti Ki Pangrango, lalu menunjukkannya pada Naditya.

"Jiwa yang menyatu dengan benda keramat butuh waktu untuk pulih dan meninggalkan benda itu."

Naditya menatap cincin itu, seketika dia memikirkan sebuah penyesalan. Andai saja ia bukan keturunan agung, pasti semua kejadian ini tidak akan menimpa dia. Sampai orang-orang disekitarnya pun menjadi korban.

Saat itu Naditya sepertinya berhutang maaf pada Arya. Dia yang masih kecil saat itu sudah di tinggalkan ibunya, setelah itu ayahnya mengorbankan jiwanya.

Matanya menatap Arya sendu.

"Maaf!" serunya seraya menundukkan kepalanya.

Arya balas menatap Naditya.

"Gue berhutang maaf atas kehilangan lo."

Arya lantas langsung berlutut di depan Naditya dan menatapnya dengan tatapan yakin. "Ngga, gue yang minta maaf karena kerajaan gue. Lo kehilangan nyokap lo, ah... maksudnya Kanjeng Ratu."

Naditya menghela napas. Bahkan ibuku meninggal karena statusku. Jika aku lahir dengan status biasa baik kerajaan Jayakarsa, orang-orang Kerajaan Sendang Rani, Teman-temanku, bu Nias, ayah, bahkan ibu mungkin ngga akan kenapa-napa Pikir Naditya.

Setelah dipikir-pikir ini semua adalah salahnya, salah takdirnya sebagai keturunan agung.

"Takdir sudah berlaku, penyesalan memang selalu datang di akhir, hanya dengan menjalani hari ini dengan baik untuk masa depan yang akan menjadi jalan keluarnya."

Suara khas yang lembut menyapa mereka hingga merekapun mengalihkan pandangannya melihat Ki Pangrango berjalan dengan santai masuk kesana. Sementara Sankara mengikutinya dari belakang.

Melihat Sankara masuk, Arya langsung membungkuk singkat untuk menghormatinya sebagai Raden Kerajaan Sendang Rani. Sankara juga membalasnya.

Soal semua yang terjadi belakangan ini sudah diceritakan oleh Nias. Jadi, Sankara tahu jika Arya adalah bangsa Harimau yang dulu pernah ia rasakan auranya di mall. Mungkin itu adalah pertemuan awal mereka. Kesiagaannya kini beralih menjadi sebuah penghormatan antar Kerajaan, mengingat jalinan yang pernah di lalu kedua kerajaan sebelumnya. Takdir memang sulit untuk ditebak.

Naditya membungkuk kecil pada Ki Pangrango, entahlah ia sudah terbiasa melakukan hal ini. Aura energi spiritual Ki Pangrango yang kuat membuatnya secara tidak langsung terintimidasi.

"Gimana keadaan kamu?"

Naditya tersenyum kecil. "Sudah mendingan, Ki!"

Ki Pangrango menganggukkan kepalanya kecil. "Baguslah!"

"Oh iya, gimana keadaan Hara?" tanya Naditya.

"Kanjeng nyai ngga usah khawatir, berkat kanjeng nyai dia sudah baik-baik saja tinggal proses pemulihan energinya. Nanti juga dia sudah siap untuk di kejar anakku, Nias lagi."

Darah Biru & Harimau PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang