ᮘᮘ᮪ |᮵| : Perdebatan

42 10 0
                                    

Gerakan ahli memotong bahan ditunjukan oleh Naditya. Sekarang dirinya dibantu oleh Dhika mengolah lauk pendamping nasi liwet. Ada beberapa macam lauknya seperti, daging ayam, tahu, dan tempe goreng, lalap, dan sambal bawang yang tentunya harus ada.

Begitu Naditya memasak Sambal bawang baunya tercium sangan harum hingga menggugah selera makan, meski hidungnya sudah mulai terasa panas karena memasak sambal ini.

"Udah masak aja, anak ayah." kata seseorang yang menginterupsi adegan memasak Naditya.

Naditya menoleh sebentar sebelum berkata. "Eh, Ayah udah bangun?"

"Nyium harum semriwing gini, gimana nggak bangun coba?" tanya Sankara.

Naditya terkekeh kecil sebelum mematikan kompor itu dan mencuci tangannya lalu menghampiri sang Ayah untuk mencium tangannya.

"Sendiri? Mau Ayah bantuin?"

Naditya menggeleng. "Nggak sendiri kok yah, itu ada Dhika di hawu¹, lagi bikin nasi liwet." kata Naditya.

"Oalah, menu malem ini liwet toh."

"Iyadong, masa itu-itu mulu kan bosen."

"Tapi lauk Nasi Liwet juga sama-sama tempe sama Tahu goreng."

"Ih ... Ayah ... Beda konsep!" tegas Naditya yang membuat Sankara terkekeh karena tingkah anaknya yang imut itu.

Gayatri lihatlah anakmu ini, bukankah dia sangat menggemaskan?

"Nana! Ini hihid²nya dimana?" pekik Dhika.

"Lha? Di tumpukan kayu nggak ada?"

"Nihil!"

Naditya berdecak kesal. Ia lalu menatap ayahnya. "Ngapain liatnya kayak gitu?"

Naditya menyipitkan matanya. "Pasti ayah yang bawa ke kamar!"

"Eh... Kok nuduh."

"Eh ... Eh ... Ketemu nih, Na!" teriak Dhika.

Ayahnya melihat Jadinya yang sudah nyengir kuda. "Kan, " katanya.

"Sorry... Sorry! Yukkk ayahku tercinta, mari kita duduk!" celetuk Naditya yang mengalihkan pembicaraan seraya mendorong ayahnya agar duduk di depan TV di ruang keluarga.

"Duduk manis, Nana mau bikin lauk liwet dulu yah..." baru saja Sankara hendak komplain Naditya langsung mengecup pipi ayahnya itu singkat dan berlalu kedapur.

Sankara terus terkekeh geli melihat kelakuan anaknya itu. Kemudian dia hanya bisa pasrah dan duduk manis disana seraya membaca koran ditemani dengan teh hangat yang sudah tersedia di meja di depannya. Teh itu memang selalu di tempatnya, meski ada atau tak ada Sankara.

Tak lama suara ketukan pintu terdengar dengan jelas ditelinga Sankara. Alhasil Sankara langsung membuka pintu. Matanya langsung melihat sepasang anak sekolah yang tak lain dan tak bukan adalah Kanaya dan Hara, serta Nias yang tengah tersenyum manis kearahnya. Tanpa membuka percakapan apapun Sankara langsung mempersilahkan mereka untuk masuk.

"Om, aku langsung kedapur yah." ucap Kanaya yang langsung menarik Hara, padahal lelaki itu baru saja berniat untuk duduk di sofa disamping Sankara.

Hendak mengeluh tapi ia takut kepalan tangan Kanaya melayang ke wajah tampannya. Kalian perlu tahu jika tinju Kanaya itu menyakitkan.

Kala melihat kedua orang itu lenyap. Senyum manis Nias luntur yang berganti menjadi wajah serius.

"Sankara! Kita perlu bicara," kata Nias.

Menyadari nada suara Nias yang berubah. Apalagi sampai menyebut nama. Berarti itu adalah hal penting.

Nias membawa Sankara menuju ruang kerja Sankara. Disana mereka sengaja mengunci pintunya. Dan lagi ruangan itu kedap suara.

Darah Biru & Harimau PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang