ᮘᮘ᮪ |᮵᮵| : Melawan Siasat Dengan Siasat

20 4 0
                                    

Antasena datang dengan tergopoh-gopoh masuk ke aula utama kerajaan Jayakarsa. Semua yang ada di aula itu tidak ada satupun yang tidak bersedih. Suasana pilu menghiasi hari itu. Semuanya bertekuk lutut hormat seakan mengantar seorang berjasa menuju peristirahatan terakhirnya. Pakaian hitam bercorak warna emas mewah yang biasa di pakai di kerajaan itu seketika berubah menjadi pakaian putih polos. Tak ada perhiasan nampak sangat hampa.

Antasena yang telah menatap sekeliling kemudian menemukan Arya berdiri di depan singgasana, tak bergeming bahkan sedikitpun. Seakaan ia di pahat menjadi patung disana. Seringai tajam Antasena tunjukan, tapi sesaat kemudian kembali nampak berkabung.

"Putra mahkota?!" lirihnya.

Arya yang semula menutup matanya, perlahan terbuka menatap kosong singgasana di depannya. Kemudian berbalik menemukan Antasena disana tengah berpura-pura berkabung.

Arya menatap angkuh, melihat pamannya yang ia kira sangat menyayanginya hingga merawatnya sampai sebesar ini, tapi memiliki niat yang sangat busuk. Mari kita lihat sampai kapan dia akan bertahan menjadi orang seseorang yang munafik seperti ini.

Langkah demi langkah tercipta, Arya menuruni tangga. Seiring dengan hal itu di singgasana nampak memperlihatkan cincin pengikat Jiwa yang diletakkan dalam sebuah kotak kaca. Bersinar indah disoroti cahaya matahari. Sayangnya mereka tak bisa merasakan aura agung gusti prabu Bagaspati di dalam cincin itu.

Arya memang nampak tak menangis, tak ada jejak air mata, tapi Antasena melihat sorot mata angkuh itu nampak layu seiring dengan langkah yang ia ambil.

Padahal dalam hati, Arya ingin membunuh Firas yang mengajarkannya hal gila seperti berakting sedih seperti sekarang. Demi keadaan, Arya akan melepaskan Firas kali ini. Lagi pula siasat harus di tangani dengan siasat. Orang selicik Antasena tidak akan tertipu dengan mudah. Jika tidak di tipu lagi. Menjebaknya dengan jebakan yang sudah di siapkannya sendiri lebih kejam bukan?

"Paman..." lirih Arya dengan suara perau.

Yah terimakasih pada Tahula yang menyiapkan jamu yang membuat suara Arya jadi perau.

Antasena menepuk pundak Arya seakan mengerti perasaan remaja itu.

"Sabar nak, ayahmu tidak akan senang jika kamu bersedih."

Arya membuang muka kecil.

Ugh... Tangan menjijikkan

"Bagaimanapun kamu harus membalas dendam ayahmu. Teganya keturunan agung itu membunuh Raja kerajaan Jayakarsa!"

Arya mengepalkan tangannya erat. Berwajah tebal sekali dirinya. Menyalahkan orang lain atas perbuatan yang ia lakukan. Tidak bermoral. Bagaimana bisa Arya percaya pada orang tua ini selama bertahun-tahun?

Antasena melihat tangan itu terkepal mengartikan hal lain. Ia berpikir jika Arya kini mulai sangat membenci keturunan agung itu.

Kemudian sorot mata tajam mengarah pada Antasena. Membuat Antasena terlonjak kaget sebentar. Kemudian ia mulai mengatur ekspresinya kembali.

"Paman benar. Aku harus balas dendam."

Sudut bibir Antasena berkedut. Akhirnya hal yang ia skenariokan akan mulai terlaksana selangkah demi selangkah. Dengan kekuatan Arya, akan membuatnya lebih cepat mencapai tujuannya.

Arya kemudian memalingkan muka. "Aku sudah merencakannya. Aku akan mendekati sang keturunan agung, membantunya berlatih agar dia secara sempurna menguasai energi spiritualnya. Setelahnya, akan ku hasut dia agar membuka lawang agung, lalu memusnahkannya dan kerajaannya. Berharap ayahanda akan tenang disana," ungkapnya dengan nada suara yang meyakinkan.

Darah Biru & Harimau PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang