ᮘᮘ᮪ |᮲᮴| : Antasena

37 8 0
                                    

Sejak ditemukan Naditya dan Arya di perbolehkan pulang lebih dahulu untuk penyembuhan sementara murid lainnya tetap melakukan camping sesuai dengan jadwal. Naditya menatap langit-langit rumah sakit. Ia merasa sepertinya ia akan akrab dengan tempat. Ini, dalam kurun waktu yang relatif cepat ini ia sudah pergi ke rumah sakit untuk kedua kalinya.

Ia sudah menjalani pemeriksaan menyeluruh, sekarang ia hanya berbaring bosan di rumah sakit. Menunggu Bu Nias dan Pak Wiranto datang membawakan hasil medisnya. Tapi, sepertinya selain kepala belakangnya yang terbentur dan kakinya yang di gigit harimau tidak ada cidera lain, seperti organ tubuhnya rusak karena racun.

Ah berbicara tentang racun. Arya juga sudah diobati, katanya penanganan yang cepat membuat Arya masih bisa diselamatkan. Racunnya juga sudah di netral kan dan belum menyebar luas. Sekarang Arya tertidur di samping bangkarnya sejak saat ia pingsan ia masih belum sadarkan diri.

Tanpa Naditya sadari cincin itu bersinar.

Sementara itu Arya nampak tengah bergulat dengan alam bawah sadarnya. Dia memakai pakaian serba putih, di tengah gelapnya sebuah lorong. Ia kebingungan tentu saja. Ilusi apa yang ia terima karena seekor siluman ular itu?

"Kanaka!" panggil seseorang yang bergema di telinga Arya.

Arya sontak melihat keberbagai arah mencoba mencari sumber suara itu. "Siluman ular picik! Apa yang lo lakuin sama gue!" pekiknya.

"Kanaka, ini ayah!"

Degh ...

Suara kali ini benar-benar terdengar familier. Ditambah, aura ini. Aura ayahnya yang sangat ia kenal. Saat ia berbalik ia menemukan cahaya yang silau hingga ia menutup matanya. Beberapa saat kemudian Sinar itu perlahan memudar. Menampakan sebuah siluet pria tinggi berkabut biru.

Perlahan ia mendekat kearah Arya. Wajah yang begitu samar-samar itu nampak mulai menjadi jelas. Arya terkesiap. Itu ayahnya, Prabu Bagaspati.

Ia tersenyum lembut penuh kasih, mendekat dan mengusap wajah anaknya itu. "Kamu udah dewasa aja," ungkapnya.

Arya malah tertegun ditempat. Ia hanya bisa melepas kerinduannya dengan menatap sang ayah. Ayahnya yang selalu ia dambakan kehadirannya kini terasa nyata. Tapi sesaat kemudian Arya kembali mengira ini hanyalah ilusi ular itu. Hingga ia menebas tangan ayahnya yang masih di letakkan di wajahnya.

"Berhenti bermain licik ular, sialan!"

Bukannya sakit hati mendengar hal itu, Bagaspati malah terkekeh kecil. "Kamu persis seperti ibu kamu, penuh dengan rasa curiga."

Arya masih bingung harus merespon bagimana. Ia juga bingung apakah ini nyata atau tidak.

"Yah, lupakan itu. Pertemuan sekarang memang bukan saat yang tepat tapi, ingat ini Kanaka. Tugas kamu adalah melindungi keturunan Sendang Rani." Bagaspati mengelus kepala anaknya. "Ingat itu, jangan biarkan pengorbanan ayah sia-sia. Satu lagi..." Bagaspati menjeda, ia menurunkan tangannya ke pundak lelaki itu. "Dunia ini penuh dengan tipu muslihat, jangan biarkan dirimu terhasut oleh kejahatan."

Bagaspati tersenyum setelah mengatakan hal itu. Senyum yang manis yang biasa ia tunjukan. Kemudian mata itu berubah berkilat menjadi warna biru. Saat itu baru Arya sadari dengan kemampuan siapapun sehebat apapun. Mereka tidak akan bisa menyembunyikan kilatan mata seseorang. Dan kilatan mata itu adalah kilatan mata Bagaspati.

Perlu beberapa saat bagi Arya untuk mencerna apa yang telah terjadi. Hingga akhirnya ia sadar. Bahwa ilusi ini bukan dibuat oleh ular sialan itu. Tapi, oleh alam bawah sadarnya sendiri dan tadi itu adalah Bagaspati asli.

Sayangnya ia terlambat menyadari itu, karena Bagaspati mulai melangkah pergi.

"Ayah!" panggil Arya.

Darah Biru & Harimau PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang