**
Sudah satu minggu sejak Kania membuat keputusan penting untuk tetap diam dan tak menghubungi Fero, sampai ia merasa terbiasa dengan tidak adanya Fero di hidupnya.
Hingga detik ini Kania masih merasa baik-baik saja. Pikirannya selalu mengingatkan kalau keputusan ini adalah yang terbaik. Teman-temannya juga setuju akan hal itu. Fiska bahkan yang paling setuju. Tapi, tidak dengan Qeenan.
Qeenan tidak menentang keputusan Kania tapi ia juga tidak menyetujuinya. Ia seolah berada di tengah-tengah dan ambigu menurut Kania.
Hal itu malah membuat Kania tak nyaman. Karena Qeenan adalah cowok dan Kania ingin tahu bagaimana menurut sudut pandang Qeenan tentang keputusannya.
"Jadi gimana menurut lo Qeenan? Kasih gue kepastian!" Kania menggeram pelan.
Ia gemas karna tak bisa bersuara keras sebab kali ini ia sedang di perpustakaan karena mengikuti Qeenan.
Di antara rak-rak buku dengan papan nama yang tergantung bertuliskan filsafat, Kania bersandar pada rak, sementara Qeenan sibuk melihat judul buku pada bagian samping buku sampai ia harus memiringkan kepalanya, agar bisa membaca judul dengan lebih jelas.
"Kepastian apa? Kayak gue cowok yang gak pernah ngasih lo kepastian aja," sahutnya santai.
"Ck." Kania betulan ingin menggigit Qeenan sekarang juga. "Lo gak bilang setuju dan juga enggak bilang kalau lo gak setuju sama keputusan yang gue bikin. Apa namanya kalau gak ngasih kepastian. Ayo dong Qeenan gue gak bercanda."
"Gue juga gak bercanda Kania. Emang gue pelawak yang suka bercanda."
Satu buku filsafat yang berukuran sedang akhirnya melayang ke kepala Qeenan dan membuat suara yang cukup keras.
"Aduh! Anjir sakit tau! Lo mau bunuh gue ya?" Qeenan protes seraya mengusap-usap kepalanya yang terasa sakit dan jujur saja ia merasa agak pening.
Kania meringis merasa bersalah.
"Maaf Qeenan," Kania pun berjongkok di samping Qeenan. "Sakit ya?"
Qeenan mendelik. "Lo bener-bener ya..."
Tapi, ia tak melanjutkan kata-katanya dan hanya mendengus saja. Jelas sekali Qeenan marah namun ia tak bisa melampiaskan marahnya pada Kania yang dengan polosnya tampak sangat amat merasa bersalah. Ekspresinya sendu bahkan hampir menangis.
"Maaf," cicit Kania pelan.
Qeenan diam saja. Rasa pening di kepalanya masih ada. Ia mencoba memijat pelan pelipisnya agar peningnya mereda.
Tiba-tiba, Qeenan merasakan tangan Kania menyentuh dahinya dan bergerak dengan gesture memijat. Tangan Kania agak bergetar dan Qeenan jadi kasihan dengan gadis itu. Agaknya Kania takut Qeenan kenapa-napa karna pukulan buku darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan di Sore Hari (✔)
Romance(Completed/Tamat) Hujan deras sore ini seakan mengerti bagaimana perasaan Kania. Gadis itu terduduk di sudut tangga sembari melihat tetesan air hujan yang berkejaran di luar melalui jendela. Ia terdiam seraya berpikir betapa bodohnya ia selama...