**
Cuaca hari ini tidak bersahabat. Mendung, angin kencang dan hujan menjadi perpaduan sempurna untuk tetap bertahan di bawah kehangatan selimut.
Namun, Kania tidak bisa tidur. Ia gelisah sejak tadi. Bolak balik di atas kasur.
Bagaimana tidak gelisah?
Soalnya tadi Hani mengirim screenshoot video dari postingan panitia event yang memperlihatkan Qeenan bersama panitia cewek yang kemarin tampak berbincang berdua.
Kalau Kania bisa melihatnya secara langsung, mungkin Kania tidak akan segelisah ini.
Namun, semua pikiran negatif seakan menyerang Kania tanpa ampun.
Terlebih lagi Qeenan tidak membalas pesannya sejak siang tadi.
Hari ini Kania tidak ada kelas. Jadi, ia tak punya alasan untuk pergi ke kampus.
Mendatangi kampus hanya untuk melihat Qeenan main futsal juga rasanya percuma.
Kania mager. Karena cuaca juga mendukung Kania untuk malas-malasan.
Tapi, Kania jadi gelisah.
From Hani :
Paling si cewek itu duluan yang ngedeketin Qeenan. Dia demen sama cowok lo. Lo kan tau cowok lo itu ramah sama semua orang, mukanya aja yang kadang sangar. Biarin aja cewek itu ngedeketin cowok lo. Dia juga cuma bisa sebatas itu doang, kan di sini lo yang pacarnya Qeenan.
Qeenan ga semurahan itu kan Kania? Ini gue nanya karna lo yang paling deket sama Qeenan sejak dia sekelas sama kita.Qeenan ga semurahan itu?
Iya sih. Qeenan bukan tipe cowok yang suka tebar pesona seperti cowok buaya kebanyakan.
Mungkin Qeenan bersikap ramah itu juga hanya sekedar formalitas kepada panitia acara.
Iya kan?
Yah, semoga saja begitu.
Kania jadi sedikit lebih tenang. Tau-tau ia tertidur sampai lupa waktu.
Langit sudah gelap saat Kania terbangun. Suara kelontang di dapur membuat Kania terjaga sepenuhnya.
Aroma masakan tercium. Entah kenapa ini rasanya familiar.
Kania melangkah lunglai keluar kamar. Memegang pintu sejenak sambil mengumpulkan nyawa.
Ada jaket denim Qeenan tersampir di sofa.
Cowok itu datang. Sudah dipastikan suara heboh di dapur adalah ulahnya.
"Qeen?"
"Hai cantik! Udah bangun?"
Qeenan mendongak sejenak lalu sibuk mengaduk masakannya di wajan.
Kania menarik kursi makan dan duduk. Menopang dagu di meja sambil menatap Qeenan yang sibuk di balik wajan.
"Qeenan ada cewek yang deketin kamu ya?" Kania langsung to the point.
Gerakan spatula Qeenan berhenti sebentar, namun setelahnya kembali sibuk mengaduk masakan.
"Kamu tau? Cewek emang beda ya."
Kania tak menanggapi lagi. Ia duduk diam di meja makan menunggu Qeenan selesai memasak.
"Ini makanannya semoga enak ya."
"Ini sogokan?"
Qeenan tersedak saat minum segelas air.
"Ngeliat kamu santai aja sekarang aku tebak cewek yang deketin kamu ga menarik ya."
Kania mulai makan. Masakan Qeenan enak. Meski hanya mienas sederhana. Tapi, ini benar-benar enak.
Qeenan berdeham sebentar sebelum menjawab. "Bukannya gak menarik. Tapi hati aku yang udah nolak duluan."
Kania mendongak. Menatap Qeenan dengan mulut penuh makanan. Pipinya jadi bulat.
Qeenan tertawa gemas.
"Gimana aku bisa liat cewek lain menarik saat aku punya cewek selucu kamu."
"Meskipun aku belum mandi dan ada belekan di sini?" Kania menunjuk sudut matanya.
Qeenan tergelak lagi. "Iya. Kalau aku jelasin kayak gimana pun rasanya ga ada kalimat yang pantes bisa aku ungkapin gimana beruntungnya aku punya kamu."
Bukannya tersipu. Kening Kania malah terlipat bingung.
"Kamu belajar dari mana sih?"
Qeenan tertawa malu.
"Dari Doni. Aneh ya?"
"Aneh banget," jawab Kania tegas.
Qeenan terkejut dengan kejujuran Kania. "Kamu kenapa jadi blak-blakan gini sih Kania?"
"Maklumin aja ya, aku baru bangun tidur soalnya. Otak aku lagi sat set sat set gass jadi rada blak-blakan."
Tawa Qeenan meledak lagi.
"Mau kayak gimana pun kamu aku tetep sayang kamu. I love you Kania."
Kania berdecih pelan. "Love you too."
**
Terimakasih sudah mampir dan meninggalkan jejak. Stay safe, health and happy ya. Sampai ketemu di cerita fiksi aku yang lain.
See you🙌❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan di Sore Hari (✔)
Romance(Completed/Tamat) Hujan deras sore ini seakan mengerti bagaimana perasaan Kania. Gadis itu terduduk di sudut tangga sembari melihat tetesan air hujan yang berkejaran di luar melalui jendela. Ia terdiam seraya berpikir betapa bodohnya ia selama...