203 - Reuni Akbar

285 96 25
                                    

.

.

"Yang penting itu kehadiran hati. Meski fisik hadir, kalau hati tidak hadir, untuk apa?"

.

.

***

Pukul satu siang di puncak bukit Sumatera Barat, Yoga turun dari mobil taft yang disewanya. Mengenakan jas dan celana panjang hitam, rambutnya dibiarkan terurai dan memakai kaca mata hitam, selain untuk menghalau sinar matahari siang hari, juga untuk menutupi mata sembapnya.

Beberapa orang yang berpenampilan seperti wartawan, segera mengenali Yoga. Mereka segera berlari mengerumuni Yoga.

"Pak Yoga, bagaimana tanggapan anda terkait wafatnya guru anda, Syeikh Abdullah?"

"Kapan berita wafatnya beliau sampai pada anda, Pak?"

Yoga diam saja dengan wajah angker, menahan kesal di ujung lidahnya. Ingin memaki rasanya. Sungguh wartawan-wartawan ini tidak punya empati. Jelas-jelas dirinya baru kehilangan sosok yang amat penting, masih juga mengerumuninya dan bertanya macam-macam.

"Tolong kasih jalan! Bapak-bapak dan Ibu-ibu wartawan, tolong kasih jalan untuk Pak Yoga!"

Yoga mendongak ke depan. Ternyata yang membantunya dari kerumunan wartawan, adalah lulusan santri pesantren Syeikh di Padang.

"Mahzar!" seru Yoga.

Pemuda yang sekarang sudah seumur Yunan itu, mencium tangan Yoga dan mempersilakannya masuk ke akses khusus menuju kamar Syeikh.

"Afwan, Pak Yoga. Wartawan-wartawan itu datang sejak dua jam yang lalu. Berita wafatnya Syeikh, sudah muncul di televisi," jelas Mahzar yang matanya sembap, sama seperti Yoga. Kehilangan Syeikh Abdullah, adalah kehilangan yang sangat besar.

Yoga mengangguk. Dia paham. Syeikh adalah ulama yang dipandang oleh dua tarekat sekaligus. Selain jumlah pengikut beliau yang banyak, beliau juga sering menjadi perwakilan ulama dari Indonesia, jika ada pertemuan ulama internasional. Dan Syeikh Abdullah juga dikenal dekat dengan pejabat negara.

"Presiden akan datang nanti sore, mungkin menjelang Maghrib," kata Mahzar.

"Presiden?" tanya Yoga khawatir salah dengar.

"Iya, Pak. Tadi sudah menghubungi Ustaz Umar langsung."

Yoga mengangguk. Seolah kedatangan Presiden adalah bahasa untuk menampik tuduhan miring yang dulu pernah dialamatkan pada Syeikh. Ada pihak-pihak tertentu yang menuding tarekat mereka sesat. Tudingan tanpa dasar. Yang dituding bukan hanya mereka, tapi tarekat lain juga. Mungkin pada dasarnya memang anti sekali dengan ajaran tasawuf.

"Ustaz, Pak Yoga sudah datang," kata Mahzar pada Ustaz Umar yang berdiri bersandar di luar dinding kamar Syeikh.

Mendengar nama Yoga disebut, Umar menoleh cepat.

Yoga melepas kaca mata hitamnya dan merangkul Ustaz Umar. Keduanya menangis. Tak perlu lagi ucapan belasungkawa. Keduanya sama-sama terluka sekarang.

Mahzar mengusap ujung mata. Nampaknya hari ini akan tertumpah banyak air mata.

"Masuklah, Yoga. Jenazah Syeikh ada di dalam. Sudah dimandikan dan dikafankan. Sengaja belum dibawa ke masjid, karena di luar ramai wartawan. Kita menunggu rombongan dari Hadramaut datang," kata Umar sambil mengusap wajahnya.

Yoga mengangguk. "Putra beliau ada di dalam?" tanya Yoga.

"Tadi mereka di sini, tapi sekarang sedang bersama keluarga mereka di kamar. Kami sudah siapkan beberapa kamar. Berjaga-jaga, sepertinya Yunan dan Habib Ali mungkin baru akan tiba di sini sekitar jam tujuh malam. Salat jenazah, penguburan, salat Isya dan lain-lain, tentunya makan waktu. Jadi kami sudah siapkan beberapa kamar. Buatmu dan Yunan juga. Untuk Habib Ali juga sudah siap. Kalau kamu mau istirahat di kamar, sudah bisa," jawab Umar.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang