.
.
"Ini adalah musibah yang sebenar-benarnya. Musibah yang lebih besar dari kematian."
.
.
***
Arisa masih memandangi Raesha dengan sorot mata tak percaya. Sebotol racun arsenik, masih di genggaman Arisa. Semua orang tahu bahwa Raesha masih sulit menerima kenyataan bahwa Ilyasa meninggal diracun, tapi pastinya tak ada yang menyangka bahwa racun yang sama yang menjadi penyebab kematian Ilyasa, ada di dalam laci nakas kamar tidur Raesha.
"Untuk apa racun ini, Raesha?" tanya Arisa, sengaja dengan suara pelan. Ia tidak ingin Erika menghampiri mereka lantaran Arisa bicara dengan suara lantang.
"A-Aku ... ," ucap Raesha dengan suara parau. Otaknya berpikir keras. Gamang. Haruskah dia berbohong? Kebohongan apa yang kiranya cukup masuk akal untuk menjadi alasan keberadaan racun laknat yang telah merusak organ-organ dalam orang yang sangat dicintainya?
Arisa menyaksikan mata Raesha yang mulai berair. Wanita cantik yang lebih muda darinya sepuluh tahun itu, tak menemukan kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Arisa.
Dada Raesha merasakan perih luar biasa, saat ingatan akan sejarahnya dengan Ilyasa, bermunculan tanpa ampun. Jika harus menjelaskan sebesar apa ia mencintai Ilyasa, tak ada kata yang layak mengungkapkannya. Ilyasa adalah orang yang mengenalkannya pada Allah dan Rasul-Nya. Mendekatkannya pada agama. Ilyasa berhasil 'menjinakkan' Raesha sehingga Raesha menurut saat diajak mendalami Islam. Cinta itu datang begitu saja. Siapa yang tidak akan jatuh cinta dengan Ilyasa? Pria yang punya semangat besar dalam syi'arnya. Semangat hidupnya berapi-api. Ilyasa rela menjalani semuanya, demi Allah. Melalui Ilyasa, Raesha belajar ikhlas berkorban waktu, tenaga dan materi, demi berkhidmah pada umat Nabi Muhammad.
Dan tiba-tiba saja, dalam sekejap mata, racun bernama arsenik itu memisahkannya dari Ilyasa, pria yang sangat berjasa dalam hidup Raesha.
"Apa kamu berencana akan bunuh diri dengan racun ini, Raesha? Racun yang sama dengan yang membunuh Ilyasa?" tanya Arisa yang matanya mulai berair.
"B-Bukan, Kak! Aku gak pernah punya pikiran untuk bunuh diri!" sangkal Raesha segera.
Arisa nampak lega mendengarnya. Syukurlah. Dia tak bisa membayangkan kalau seorang pengajar ilmu seperti Raesha --
Namun air muka Arisa berubah. Ia bertanya lagi, "kalau bukan untuk bunuh diri, berarti --"
Raesha tertunduk malu. Ia menutup bibirnya dan menangis sesenggukan. Ia jatuh berlutut.
"A-Aku tidak bisa terima, pembunuh itu meracuni Ilyasa! Aku -- aku mencari tahu semua tentang racun sial itu! Mereka bilang, racun itu membuat korbannya merasakan sensasi terbakar! Hasil forensik juga menyatakan, banyak organ dalam Ilyasa yang rusak karena racun sialan itu!! Racun itu menyiksanya pelan-pelan sampai mati!"
Arisa terdiam membiarkan Raesha menumpahkan yang disimpan di benaknya selama ini. Sisi yang tak akan Raesha tunjukkan pada orang-orang, lantaran gelar 'ustadzah' menempel di depan namanya.
"Aku benci!! Benci sekali pada laki-laki jahanam itu! Sobri! Aku ingin pembunuh laknat itu mati saja!! Maka saat polisi bilang, ada kemungkinan Sobri akan datang ke sini, aku sengaja menyiapkan racun itu! Akan kupaksa dia menelan racun itu! Supaya dia merasakan sakit yang dirasakan Ilyasa!"
Bibir Arisa bergetar dan ia menangis. Merasakan iba yang teramat sangat, pada wanita yang merupakan adik iparnya.
Raesha diam dengan tatapan penuh dendam. Air matanya terus mengalir tanpa jeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI EXTENDED
SpiritualRaesha sudah menerima khitbah Ilyasa. Keduanya saling mencintai, tapi Ilyasa masih merasa, calon istrinya itu masih menyimpan rasa pada Yunan, kakak angkat Raesha. Dan sekali pun Yunan sudah punya istri bernama Arisa, dan putra bernama Raihan, Ilya...