371 - Pamit

220 58 3
                                    

.

.

"Cepat bawa kopermu ke sini! Aku hitung sampai tiga!"

.

.

***

Di parkiran, Adli melihat supirnya datang membawakan koper milik Haya.

"Elaine mana?" tanya Adli.

"Masih di rumahnya, Tuan. Mungkin masih menyiapkan kopernya," jawab pak supir.

Adli melengos. Lelet. Calon istriku -- eh -- ngaku-ngaku.

"Bapak panasin mesin mobil aja. Biar saya yang bawakan koper Elaine," putus Adli.

"Baik, Tuan."

Adli pergi menuju akses masuk tempat suluk. Ia melepas kacamata hitamnya dan menyematkannya di kerah baju. Terkejut saat di koridor dek kolam melihat Kak Yunan sedang bersama Raesha dan Arisa, plus duo I. Apa yang baru terjadi di sini? batin Adli. Kok ada aura-aura suram yang sulit dijelaskan?

"Saya pamit dulu, Kak Arisa, Kak Yunan," ucap Adli mengatupkan tangan dan membungkuk sopan ke arah Arisa.

"Iya, Adli. Syukran sudah jauh-jauh datang dari Jakarta untuk menghadiri acara pertunangan Raihan dan Rayya," kata Arisa dengan suara ramah.

"Afwan, Kak. Anu, Elaine masih siap-siap, Kak?" tanya Adli.

"Sepertinya masih siap-siap di rumah. Mungkin sebentar lagi keluar."

"Baik, Kak. Biar saya tunggu dia di luar rumah. Siapa tahu dia perlu bantuan," kata Adli tersenyum. Dia perlu menggarisbawahi kalimat itu "Saya tunggu dia di luar rumah."

"Gak merepotkanmu, Adli? Biar Raihan yang bawain koper Elaine," kata Arisa dengan nada sungkan.

"Sama sekali gak repot, Kak. Saya sekalian mau pamit sama Raihan dan keluarga Om Zhafran," jawab Adli tersenyum.

Arisa menghela napas. Benar-benar, pujaannya Elaine, batinnya. 

.

.

"Assalamu'alaikum."

Elaine tersipu. Detak jantungnya melonjak, hanya dengan mendengar suara Om Adli di luar pintu rumahnya, yang dibarengi dengan suara ketukan pintu.

"W-Wa'alaikumussalam!" Elaine berlari menghampiri pintu. 

Sosok jangkung Adli, diterpa kilau mentari pagi. Padahal sudah sering melihat pemandangan ini, tapi selalu debaran jantung Elaine jadi tak beraturan tiap melihatnya.

"I-Iya? Ada apa, Om?" tanya Elaine.

"Pakai tanya ada apa segala! Kamu mau ikut pulang sama aku, 'kan? Lagi ngapain, sih? Lama banget!" omelan khas Om Adli, yang tidak begitu hobi menunggu.

"Iya, Om. Aku baru selesai rapikan koperku. Sebentar, ya. Em ... maaf. Aku gak bisa persilakan Om masuk, soalnya gak ada siapa-siapa di rumahku," ucap Elaine malu-malu.

"Emangnya siapa yang mau berduaan aja sama kamu di rumahmu? Cepat bawa kopermu ke sini! Aku hitung sampai tiga! Kalau gak keluar juga sama kopermu, aku terobos masuk!" ancam Adli dengan ngasalnya, sambil melipat tangan macam bos pada karyawannya saja.

"I-Iya! Sebentar, Om!" Elaine ngibrit ke dalam kamarnya.

"Satu!!" teriak Adli dari luar.

Elaine panik bercampur rasa ingin menangis. Teringat kalimat Adli barusan. "Emangnya siapa yang mau berduaan aja sama kamu di rumahmu?" Ada rasa syukur, karena kalimat itu menunjukkan bahwa Om Adli bukan laki-laki mesum, tapi ada rasa sedih karena mungkin itu artinya Om Adli tidak punya perasaan terhadapnya selayaknya lelaki pada perempuan yang bukan mahram. Sakit rasanya.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang