.
.
"Gak nyangka, ya. Adli sama Elaine. Gimana itu kalau misalnya nanti ternyata mereka berjodoh? 'Kan jadi berantakan silsilah keluarga."
.
.
***
Pintu mobil dibukakan oleh seorang supir merangkap bodyguard. Seorang pria paruh baya yang masih gagah dan jangkung, turun dari pintu belakang mobil sedan bentley continental hitam. Pria itu melangkah menghampiri entrance sebuah kafe di bilangan Jakarta Selatan. Dua orang wanita muda yang masih di usia dua puluhan, diam-diam melirik pria itu.
"Aku mau dong, punya Om yang cakepnya kayak gitu," bisik salah satunya pada temannya.
"Rambutnya diikat. Tinggal tambahin bekas luka di mukanya. Pas deh jadi pemeran mafia ganteng." Keduanya cekikikan genit.
Sepatu pantofel hitam mengkilap, menapaki tangga dari kayu, lalu memasuki area resto yang bernuansa cozy. Lantai kayu, dinding beton ekspos, lampu sarang burung, bingkai-bingkai lukisan bernuansa vintage, tergantung menghiasi interior ruangan. Ilyasa selalu punya selera bagus untuk tempat ketemuan mereka.
"Ayah!"
Yoga menoleh. Anak angkatnya yang bertampang Korea itu, berdiri dari sofa dan berlari ke arahnya. Orang-orang melirik mereka, saat Ilyasa menabrak tubuh Yoga dan merangkul Yoga erat.
"Kangen, Yah!" seru Ilyasa dengan suara tertahan. Pelupuk matanya basah. Kapan terakhir kali mereka punya waktu nongkrong bareng berdua seperti ini?
Yoga membalas hangat rangkulan Ilyasa.
"Haduh anak Ayah. Masa' udah besar gini, cara pelukannya masih sama kayak waktu kamu kecil? Ayah udah mulai tua. Nanti kalau tulang Ayah remuk gimana?" canda Yoga sambil mengusap-usap rambut Ilyasa.
Mereka duduk bersebelahan di sofa kafe. Ilyasa merebahkan kepalanya di pundak Yoga.
"Kamu lagi kenapa, sih? Kok manja banget? Adli aja gak pernah kayak gini," kata Yoga mengacak rambut Ilyasa. Walau Adli gak dingin kayak kulkas, dia tetap tergolong anak yang cuek. Kalau Yunan, dingin bagai kulkas, tapi sebenarnya perduli. Kalau Ilyasa, manja sama orang yang dia sayang, dan gak sungkan-sungkan menunjukkan perasaannya. Anak memang kelakuannya beda-beda.
"Gak apa-apa, Yah. Aku cuman rada kesepian aja," jawab Ilyasa manyun.
"Kesepian gimana? Emangnya Raesha ke mana? Di rumah 'kan ada anak-anak."
"Raesha sibuk meeting untuk tayangan dakwahnya. Anak-anak lagi ngaji."
Ilyasa memberi isyarat pada pelayan kafe. Seorang laki-laki muda berseragam, mendatangi mereka.
"Ayah mau kapucino? Mau makan juga? Aku traktir," tanya Ilyasa sambil menelusuri daftar menu.
"Boleh. Kapucino satu. Makannya camilan aja. French fries, deh," jawab Yoga. "Simpan uangmu. Biar Ayah yang bayar."
Ilyasa mencibir. "Ayah selalu gitu. Gak pernah mau ditraktir. Padahal aku yang minta ketemuan."
"'Kan uangnya bisa buat traktir anak-anak jajan," sahut Yoga dengan senyum mesem.
"Saya pesan coffee latte satu. Sama cheese cake satu," kata Ilyasa pada pelayan.
Pelayan itu mencatat dan mohon diri.
"Raesha bukannya tayangan dakwahnya cuma seminggu sekali?" tanya Yoga dengan kernyitan pada alisnya.
"Iya. Aku juga cuma seminggu sekali, tapi tayangannya Raesha beda. Detail banget tim mereka. Ada meeting-meeting segala, ngebahas tema dan lain-lain. Apalagi kalau mereka ngundang ustaz juga, di acara itu. Meeting-nya jadi lebih sering. Udah gitu, acaranya Raesha rating-nya bagus banget katanya." Ilyasa menjelaskan dengan wajah lesu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI EXTENDED
SpiritualRaesha sudah menerima khitbah Ilyasa. Keduanya saling mencintai, tapi Ilyasa masih merasa, calon istrinya itu masih menyimpan rasa pada Yunan, kakak angkat Raesha. Dan sekali pun Yunan sudah punya istri bernama Arisa, dan putra bernama Raihan, Ilya...