320 - Pulang

268 87 28
                                    

.

.

"Kenapa pada nangis semua?"

.

.

***

Suara percikan air terdengar di wastafel toilet. Erika mencuci tangan dengan sabun, lalu menatap wajahnya di cermin. Matanya bengap. Tekanan emosional membuatnya menutup mulut dan menangis tanpa suara. Ia sebenarnya merasa hancur saat ini. Membayangkan akan kehilangan Yoga di dunia, terasa sangat menyedihkan. Tak ada lagi yang akan jadi sandarannya di saat dirinya ingin dimanja. Tak ada lagi teman bercanda yang paling dekat. Orang yang dilihatnya tiap pagi saat membuka mata.

Erika mencuci muka, lalu menarik napas panjang dan mengembuskannya. Apapun yang terjadi, dia harus tetap tegar. Dia tidak boleh egois dan hanya memikirkan kesedihannya sendiri. Dia juga seorang Ibu, dan saat ini putrinya sedang terpukul setelah Ilyasa dibunuh dengan racun. Itu adalah kematian yang lebih menyakitkan, dibandingkan kematian karena penyakit.

Erika mengucap basmallah dalam hati, saat memutar gagang pintu toilet. Ia terkejut saat mendengar azan Subuh terdengar lantang. Suara azan itu berasal dari ponsel yang ada di dalam tasnya, yang diletakkan di kursi dekat ranjang Yoga.

"Allahu akbar. Allaaaahu akbar."

Erika buru-buru membuka tasnya, merogoh-rogoh mencari ponselnya yang terselip entah di mana. 

"Allaaahu akbar. Allaaaaahu akbar."

"Ya Allah. Kenceng banget volumenya. Aku lupa kecilin. Maaf, sayang," kata Erika pada Yoga. Yoga diam saja tak menyahuti.

"Asyhadu allaa ilaaha illallaaah. Asyhadu allaa ilaaha illallaaah."

Erika akhirnya menemukan ponselnya. Ia mengusap layar ponsel. Dari sudut mata, dilihatnya Yoga memejamkan mata. Mungkin sedang tidur, batinnya.

"Asyhadu anna Muhammadarrasuulullaaah. Asyhadu anna Muhammadarrasuulullaaah."

Erika menghela napas saat akhirnya berhasil mematikan alarm waktu salat Subuh di ponselnya. Namun suara 'biip' panjang dari alat EKG membuat wajah Erika tegang seketika.

Kurva detak jantung di layar EKG kini berubah menjadi garis datar. Dengan debar kencang di dadanya, Erika memanggil Yoga dengan panik, mengecek napas di hidung Yoga. Erika makin pucat saat tak menemukan tanda-tanda embusan napas, dan juga detak jantung di dada Yoga. Wanita itu berlari keluar ruangan, berteriak memanggil suster. Beberapa suster dan dua orang dokter jaga, datang berlari ke ruang ICU. Keluarga diminta menunggu di luar.

Adli memeluk Erika yang menangis histeris. Tak lama, dokter keluar dengan ekspresi sedih. Menyampaikan kabar duka.

.

.

.

.

Pukul 06.00.

Seorang wanita berusia 45 tahun, menyeduh teh dan kopi yang diletakkan di meja. Lalu dua gelas susu untuk anaknya yang masih duduk di bangku SMP. Televisi menyala di ruang tengah.

"Sayang, sepertinya hapemu dari tadi bunyi terus," kata suaminya sambil menatap serius ke arah televisi.

"Oh ya? Nanti saja aku cek," sahut Laras, nama wanita itu. Alat pemanggang roti berbunyi saat roti tawar usai dipanggang. Laras meletakkan roti itu ke piring, sebelum mengoleskan selai ke permukaan roti.

Tulisan di layar televisi, membuat suami Laras heran. "Pagi-pagi begini, ada headline news. Ada apaan sih?" gumamnya.

"Dek! Remot mana? Coba naikin volumenya!" seru lelaki itu pada putranya yang paling besar.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang