.
.
"Musim semi seolah datang, padahal sebenarnya, badai menanti di persimpangan."
.
.
***
Arisa duduk di seberang ruangan dokter, sementara dokter memasang hasil scan otak Yunan dan menyalakan lampu di belakang lembaran hasil pemeriksaan.
"Hasil scan menunjukkan bahwa pendarahan telah berhenti sempurna. Pembuluh darah yang pecah, kini telah kembali utuh. Tak ada darah beku sama sekali. Kami sungguh tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi dalam semalam. Saya rasa, satu-satunya penjelasan adalah, telah terjadi keajaiban semalam," jelas sang dokter dengan alis berkerut hebat. Kejadian luar biasa ini, jelas akan menjadi salah satu catatan medis yang akan dia ingat di sisa hidupnya.
Arisa meneteskan air mata di balik cadarnya. "Alhamdulillah. O-Oh, Dokter. Apa ada semacam efek samping dari pendarahan otak itu?"
"Dari hasil pengamatan saya tadi saat bertemu Tuan Lham, komunikasi verbalnya sedikit terganggu. Mungkin Tuan Lham akan perlu waktu untuk belajar bicara lagi, dan juga cara makan dan lainnya. Itu efek yang biasa terjadi pada kasus kecelakaan berat di kepala."
Arisa menyatukan jemari. Cemas mendengar keterangan dari dokter barusan. Komunikasi adalah salah satu nilai lebih Yunan. Dan juga, poin penting dalam dakwahnya. "K-Kira-kira, berapa lama dia bisa pulih, Dok? Maksud saya, kemampuan komunikasi suami saya."
"Umumnya bisa sampai setahun. Tapi pada beberapa kasus, bisa lebih cepat dari itu. Nanti beberapa hari kita akan terapi di sini, supaya keluarga paham cara terapinya, dan nanti bisa dipraktekkan saat sudah pulang ke rumah."
Arisa menghela napas. Setahun lama juga, batinnya. Tapi ini sudah jauh lebih baik. Dia sudah lebih dari bahagia, melihat Yunan tersadar kembali semalam.
Arisa mengucapkan terima kasih pada dokter yang telah mengusahakan Yunan agar bertahan hingga kini, lalu pamit kembali ke ruang rawat.
Wanita bercadar hitam itu, menghela napas saat berjalan di koridor menuju ruang VVIP. Entah apa yang terjadi semalam. Tak biasanya Arisa tertidur seperti orang pingsan. Semalam mestinya adalah gilirannya terjaga. Raihan sudah tidur lebih dulu. Lalu sepertinya pukul satu Arisa merasa tidak tahan dengan kantuknya lalu ia pindah dari kursi di samping Yunan, ke sofa. Tadinya hanya bermaksud menyandarkan punggung, tapi ia sendiri tak tahu kapan dirinya mulai tertidur. Suara tangis Ilyasa, adalah yang membangunkannya. Raihan nampak sama bingungnya seperti dia, saat melihat Ilyasa menangis sesenggukan sambil memeluk Yunan.
"Apa yang terjadi, Ilyasa?" tanya Arisa semalam, dengan bercucuran air mata.
"K-Kak Yunan bangun!" hanya itu penjelasan Ilyasa. Kata Ilyasa, tiba-tiba saja Yunan terbangun.
Ya begitulah. Kalau keajaiban sudah ditetapkan terjadi. Kun Fa Ya Kun (Jadilah! Maka terjadilah ia). Masyaallah.
Arisa membuka pintu ruangan, dan di dalam ruangan yang tadinya suram dan menyedihkan itu, tetiba sekarang jadi ceria dan penuh dengan bunga-bunga kebahagiaan. Arisa tersenyum melihat semua orang mengerumuni Yunan. Dana, Elaine, Haya dan Adli juga sudah datang. Bahkan Ismail dan Ishaq dibawa serta, karena di rumah tak ada yang menjaga mereka.
"Masih ingat Eyang, 'kan?" tanya Dana pada Yunan.
"E-yang Da-na," ucap Yunan susah payah.
"Iyaa!! Pinteer!" kata Dana sambil menepuk-nepuk pundak Yunan.
"Jangan perlakukan dia seperti anak TK, Yah! Yunan cuma susah bicara aja!" protes Yoga.
"Gak a-pa a-pa, ... Yah," sahut Yunan saat merespon ke arah Yoga yang sedang berdiri di belakangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI EXTENDED
EspiritualRaesha sudah menerima khitbah Ilyasa. Keduanya saling mencintai, tapi Ilyasa masih merasa, calon istrinya itu masih menyimpan rasa pada Yunan, kakak angkat Raesha. Dan sekali pun Yunan sudah punya istri bernama Arisa, dan putra bernama Raihan, Ilya...