219 - Toleransi

310 85 15
                                    

.

.

Semakin luas ilmu seseorang, maka semakin sedikit komplain dan ingkarnya akan perbedaan yang ada pada orang lain.

~ Habib Jindan bin Novel Jindan

.

.

***

Alas kaki Yunan menapak tanah jiran, Malaysia. Tangannya menggandeng tangan Arisa yang menuntun Raihan. Di hadapan mereka bertiga, adalah gedung bandara internasional Kuala Lumpur yang bergaya modern dengan rangka jendela kaca kotak-kotak, atap yang serupa sayap, dengan beberapa bentuk kubah di belakangnya, dan sebuah menara pengawas menjulang.

Yunan dan Arisa bertatapan. Allah menolong Yunan menepati janjinya saat melamar Arisa dulu. Yunan saat itu berkata insyaallah akan membawa Arisa berdakwah keliling dunia. Dan detik ini adalah pertama kalinya Arisa keluar negeri. Sementara Yunan sebelumnya pernah ke Jepang dan Hongkong, tapi bukan untuk dakwah, melainkan murni jalan-jalan bersama keluarga.

Yunan mencium kening Arisa yang terlapisi cadar. Mereka memasuki gedung bandara, bersama Ustaz Umar dan Mahzar di belakang mereka.

"Bikin baper aja," komentar Umar pelan, namun terdengar oleh Mahzar yang cekikikan di samping Umar.

Hall bandara Kuala Lumpur sangat tinggi dengan langit-langit berstruktur atap tenda modern dengan lubang-lubang kaca di tiap pertemuan lengkungannya.

"Mobil sewa sudah diurus?" tanya Yunan pada Mahzar.

"Sudah, Syeikh," jawab Mahzar yang kemudian menghubungi seseorang melalui ponsel.

Tak lama, sebuah mobil sedan mewah, berhenti di luar lobi. Mahzar membukakan pintu untuk Yunan dan keluarganya di bangku belakang, sementara Ustaz Umar di depan. Mahzar menyetir di depan kemudi, meninggalkan bandara.

Mahzar sempat mengantar mereka jalan-jalan sebelum ke hotel. Arisa dan Raihan berbelanja, namun hanya sampai pukul delapan malam, sebelum mereka kembali ke hotel.

"Pertemuannya jam sembilan pagi. Ayo kita istirahat, biar punya energi untuk besok," kata Umar. Sebab acara itu akan berlangsung dari pagi sampai sore. Ada break sebentar untuk makan siang dan salat.

"Kheir. Syukran, Ustaz, Mahzar," ucap Yunan sebelum memasuki kamar bersama istri dan anaknya.

Raihan nampak gembira mengeluarkan baju-baju dan mainan yang baru dibelinya. Agaknya hanya dia yang berpikir bahwa perjalanan ini adalah piknik.

"Aku gak ngerti Ustaz Umar ngomong apa. Kenapa dia bilang, para ulama itu meragukan kamu sebagai murid Syeikh Abdullah?" tanya Arisa setelah keluar dari kamar mandi. Wanita itu habis keramas setelah lelah keliling berbelanja.

Yunan sedang meneguk air dari botol mineral, saat istrinya bertanya. Dia meletakkan minuman di meja dan tersenyum. "Karena, aku bukan santri yang resmi lulus dari pesantren Syeikh Abdullah."

"Tapi kamu dan Syeikh sudah menghabiskan banyak waktu berdua, waktu Syeikh di Hadramaut waktu itu," sanggah Arisa.

Senyum Yunan masih tersimpul di wajahnya. "Karena, orang kebanyakan memerlukan semacam ... pengakuan akademis. Selembar ijazah dengan cap resmi dari sekolah atau universitas. Tanpa itu, dengan alasan apapun, mereka akan sulit menerima bahwa aku adalah benar murid beliau."

Alis Arisa masih berkerut mendengar jawaban itu. "Aku kok masih bingung, ya? Kamu sudah lama kenal sama Syeikh Abdullah, 'kan? Waktu di bandara dekat Tarim, kalian berdua 'kan sampai berpelukan sambil menangis, kayak kakek dan cucu."

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang